JAKARTA, Mediakakrya – Pemeriksaan Roy Suryo, Rismon Sianipar dan dr. Tifa oleh Polda Metro Jaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, dinilqi merupakan rangkaian praktik-praktik hukum yang ugal-ugalan, ceroboh dan serampangan.
Analis Institute for Public Policy Studies (IPPS) Indonesia, Yusuf Blegur, mengatakan pokok perkara yang diabaikan Polda Metro Jaya yakni keberadaan dan keaslian ijazah Jokowi yang selayaknya diperlihatkan dihadapan publik, malah dikaburkan.
“Justru Roy Suryo cs yang sejatinya mewakili sebagian besar rakyat yang menginginkan transparansi dan akuntabilitas dari pejabat publik terlebih yang pernah menjabat presiden, justru cenderung dikriminalisasi,” ujar Yusuf seperti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/10/2025).
Menurut dia, kasus kasus hukum yang menjerat Rismon, Roy dan Tifa bukan saja mengubur upaya penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat, justru aparat kepolisian dalam hal ini telah menjadi menjadi alat kepentingan politis.
Padahal di dalam konstitusi mengatur kebebasan rakyat berpendapat dan Undang-Undang yang di dalamnya terdapat Keterbukaan Informasi Publik (KIP) khususnya terhadap pejabat, nyata-nyata telah dilecehkan dan aparat ikut terlibat di dalamnya.
Yusuf pun menyebut bahwa Egi Sudjana, Kurnia Tri Royani, Rizal Fadillah, Damai Hari Lubis dan Rustam Efendi serta Roy Suryo, Rismon Sianipar dan dr Tifa, telah menjadi korban dari “state organized crime”.
Bahkan apa yang menimpa mereka semakin menguatkan Indonesia telah menjadi negara kekuasaan atau kelompok tertentu, bukan lagi sebagai negara hukum.
“Apapun bentuk dan hasil dari proses hukum terhadap mereka para aktifis, akademisi dan ulama, jika didasari atas kepentingan politis orang-orang dan kelompok tertentu, tetap merepresentasikan kebobrokan hukum. Apalagi jika mereka sampai dikriminalisasi, maka bisa dipastikan hukum tak lagi berlaku di negara ini,” kata dia.
Yusuf pun meegingatkan, bahwa kondisi Indonesia saat ini bagaikan api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meledak dan mengalami kehancuran, ketika penyalahgunaan kekuasaan telah melampaui batas memasuki ruang-ruang struktural dan kultural negara.
“Jika penguasa terus melukai persaan dan jiwa rakyat. Tak ada pilihan lain, rakyat akan mencapai titik jenuh dan jumud. Pada saatnya gerakan amok dan perlawanan massa aksi yang bicara, terorganisir maupun spontan dan reaksioner,” tutup Yusuf.
