Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Bayangkan sebuah perusahaan negara yang diberi amanat mengelola tanah untuk kemakmuran rakyat, justru menjelma menjadi “tuan tanah baru.” Itulah kisah PTPN II, perusahaan perkebunan negara yang menyimpan sejarah panjang penguasaan tanah, mulai dari masa kolonial hingga hari ini.
Dulu, tanah-tanah di Deli, Binjai, Langkat, dan Serdang adalah jantung perkebunan kolonial Belanda. Setelah nasionalisasi tahun 1958, semuanya seharusnya kembali menjadi milik negara. Namun, enam dekade berlalu, tanah-tanah itu justru perlahan raib dari peta kepemilikan negara. Dari total sekitar 250.000 hektare lahan yang dulu tercatat, kini tersisa hanya sekitar 7.200 hektare HGU aktif atas nama PTPN II. Pertanyaannya sederhana tapi mengguncang, kemana perginya ratusan ribu hektare tanah negara itu?
Pola sistemik yang tak pernah putus
Dari satu generasi direksi ke direksi berikutnya, dari satu rezim ke rezim lain, pola yang sama terus terulang, yakni dua wajah kejahatan agraria berupa jual-beli hukum dan kekerasan terhadap rakyat.
Dalam pola pertama, terlihat bagaimana sejumlah transaksi tanah dilakukan seperti sudah diskenariokan. Notarisnya itu-itu saja, saksinya serupa, harga tanahnya janggal, waktunya pun kilat, kadang hanya hitungan hari. Seolah-olah naskah penjarahan ini sudah disiapkan lama, hanya menunggu pemeran barunya.
Sementara dalam pola kedua, aparat perusahaan justru memakai kekerasan terhadap rakyat kecil. Lahan warga dibakar, petani diintimidasi, rumah dirusak dengan alasan sertifikat HGU. Padahal, banyak sertifikat itu sendiri dipertanyakan keabsahannya. Negara seperti menutup mata, sementara rakyat berjuang sendiri mempertahankan tanah yang mereka garap puluhan tahun.
Jejak negara yang disembunyikan
Laporan demi laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuktikan bahwa kerugian negara akibat pengelolaan tanah PTPN II bukan hal baru.
Tahun 2008, BPK mencatat 2.150 hektare tanah dikuasai pihak ketiga secara ilegal. Delapan tahun kemudian, pada 2016, muncul temuan lebih serius, yakni 1.500 hektare lahan disewakan tanpa izin, menimbulkan potensi kerugian Rp 1,8 triliun.
Tahun 2021, pola yang sama kembali terjadi, karena 1.243 hektare lahan dibiarkan mangkrak, sehingga potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hilang. Dan pada 2023, BPK menemukan modus yang lebih berbahaya, yakni pengalihan tanah tanpa tender dan transparansi, dengan nilai kerugian yang ditaksir mencapai Rp 3,4 triliun setiap tahun.
Setiap kali manajemen berganti, selalu ada “warisan masalah” baru. Seolah perusahaan negara ini memang diciptakan untuk kehilangan asetnya sendiri, satu bidang demi satu bidang.
Kasus-kasus nyata dari Persil 53 hingga Mulio Rejo
Salah satu contoh paling mencolok terjadi di Persil 53. Pada 21 Maret 2022, sebidang tanah dijual PTPN II kepada seorang pembeli bernama Hasanul seharga Rp 1,19 miliar. Hanya 37 hari kemudian, tanah itu dijual lagi kepada Raden seharga Rp 1,197 miliar. Notarisnya sama, saksinya sama, dan waktunya terlalu singkat untuk disebut wajar. Untungnya hanya Rp 5 juta, tapi pola transaksinya menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar: indikasi “pencucian hukum” atas aset negara.
Lainnya, di Desa Mulio Rejo, tragedi lebih menyayat. Sejak 1985, warga sudah memegang SK Gubernur yang memberi hak garap. Tapi pada 2011, lahan mereka dibakar. PTPN II menuding mereka menduduki HGU No. 109, padahal sertifikat itu sendiri diduga cacat hukum. Empat puluh tahun berlalu, warga masih berjuang di pengadilan. Sebagian meninggal tanpa pernah melihat tanahnya kembali.
Ini detail kasus Mulio Rejo:
Di sebuah desa bernama Mulio Rejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, tersimpan cerita tentang 95 keluarga petani sederhana. Mereka adalah pemilik sah tanah seluas 65 hektar berdasarkan SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 593 tahun 1985, itu sebuah dokumen negara yang seharusnya menjadi pelindung, tapi justru menjadi saksi bisu penderitaan mereka.
Tahun 1985: dengan penuh harapan, 95 kepala keluarga menerima SK Gubernur yang memberikan mereka hak atas tanah. Mereka membangun rumah, mengolah kebun, dan hidup rukun selama 25 tahun.”Tanah ini nafas kami, warisan untuk anak cucu,” kata salah satu warga yang kini sudah beruban.
Tahun 2011: bagaikan petir di siang bolong, datanglah orang-orang dari PTPN II Kebun Sei Semayang. Dengan membawa alat berat dan senjata, mereka:
- Membakar rumah dan gubuk warga
- Merusak kebun dan tanaman
- Mengusir paksa keluarga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana
“Mereka bilang ini tanah HGU, tapi kami punya SK Gubernur. Mana yang lebih kuat?” tanya seorang nenek dengan mata berkaca-kaca.
Tahun 2012. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengeluarkan surat pembentukan Tim Rekonstruksi Sengketa Lahan, tapi tak membuahkan hasil.
Pada 2015-2023, warga berjuang lewat jalur hukum, dari pengadilan hingga Komisi Informasi Publik.
Tanggal 8 Juli 2025, kemenangan kecil, berupa putusan Pengadilan TUN No. 20/PTS/KIP-SU-VV-2025 memerintahkan pengukuran dan penetapan batas tanah. Tapi… putusan itu mandek, tak dieksekusi.
Inilah jantung masalahnya, sertifikat HGU No. 109 yang dipakai PTPN II untuk mengambil alih tanah warga diduga kuat CACAT HUKUM karena:
- Tidak ada rekomendasi Menteri Agraria untuk HGU di atas 200 hektar.
- Tidak ada bukti pembayaran uang pemasukan ke kas negara.
- Melanggar pasal 1868 KUH Perdata jo. pasal 164 Permen ATR No. 3/1997.
Bagaimana mungkin sertifikat cacat bisa mengalahkan SK Gubernur yang sah? Aparat birokrat kita sudah dipecundangi!
Generasi yang terampas masa depannya:
