Apabila seseorang yang seolah-olah toleran dan tidak eksklusif padahal dia ingin Khilafah dan anti-Pancasila, menurut Ahmad Nurwakhid, sebenarnya yang bersangkutan dalam rangka taqqiyah, menyembunyikan diri atau bersiasat untuk mengamankan visi dan misinya.
Karena radikalisme terorisme mengatasnamakan Islam dalam konteks di Indonesia khususnya, lanjut dia, sejatinya adalah gerakan politik yang memanipulasi agama untuk mengambil kekuasaan dan ingin mengganti ideologi negara dan ideologi atau sistem negara.
“Sebenarnya ending-nya, output, atau visi dan misinya sama. Tentunya ini yang harus kita waspadai semua,” ujar mantan Kapolres Jembrana ini.
Untuk itu, alumnus Akpol tahun 1989 ini pun mengimbau generasi muda untuk berhenti mengikuti ustaz atau tokoh yang menyebarkan paham radikal dan intoleran, baik di lingkungan sosial maupun media sosial.
“Jangan lagi mem-follow ustaz ataupun tokoh-tokoh yang berpaham radikal yang suka mengadu domba, memprovokasi yang akhirnya kalian nanti malah terpecah belah,” ujar mantan Kabagbanops Detasemen Khusus (Densus)88/Antiteror Polri tersebut.
Ia berpendapat bahwa sejatinya tidak ada tokoh atapun ustaz yang mengajarkan kekerasan, mengadu domba, atau memprovokasi bahkan melakukan ujaran kebencian.
Oleh karena itu, perwira tinggi yang pernah menjabat sebagai Kapolres Gianyar ini berpesan kepada para generasi muda untuk selalu ikut berperan serta dalam menangkal radikalisme dan terorisme dengan cara militan yaitu dengan menangkal sebaran hoaks dan propaganda dengan aktif menyebarkan konten persatuan dan toleransi.
“Terakhir, follow ustaz dan tokoh yang moderat, toleran, dan damai serta cinta NKRI dan Pancasila, baik di ligkungan sosial maupun media sosial. Kita semua wajib menjadi buzzer dan influencer bagi perdamaian persatuan, toleransi, dan kebinekaan dalam keberagamanan,” kata Kadensus 88/Antiteror 88, Ditrekrim Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu mengakhiri.