Imelda Retna Weningsih, S.Tr.MIK., M.Kom, adalah salah satu contoh perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebelumnya, Imelda menjabat sebagai Kepala Bagian Rekam Medis di sebuah rumah sakit swasta ternama di Bandung, namun mengundurkan diri setelah diterima di KTKI. Imelda kini menanggung dua anak yang masih bersekolah dan kuliah, serta dua keponakan, orang tua, dan tiga anggota keluarga lainnya yang tidak berkeluarga.
“Keputusan ini sangat mengganggu. Sebagai janda, saya harus menanggung tiga keluarga. Saya sering merasa sakit kepala dan insomnia, bahkan merasa tidak percaya diri karena mendadak menganggur. Semua seperti mimpi buruk,” kata Imelda dengan suara bergetar saat berbicara di depan Unit Pengaduan Komnas Perempuan.
Sofiawatie, A.Md.TKv., S.Kep, tenaga kesehatan dari Konsil Keteknisian Medis, juga merasakan dampak yang sama. Sofiawatie, yang sebelumnya bekerja di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, adalah seorang janda yang menanggung tiga keponakan yatim piatu dan biaya hidup keluarga almarhum adiknya. “Dengan diberhentikan tanpa penghasilan, saya bingung bagaimana membiayai pendidikan keponakan-keponakan saya dan membayar utang rumah,” ujarnya.
Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sofiawatie terpaksa berjualan rujak serut dan asinan, namun pendapatan tersebut masih jauh dari cukup. Sementara itu, Tri Moedji Hartiningsih, A.Md.PK., S.Pd., M.Pd., seorang janda yang juga menjadi tulang punggung keluarga, kini bekerja sebagai driver online untuk menutupi kebutuhan bulanan.
“Sebagian besar dari kami, perempuan, mengalami gangguan fisik dan mental, seperti demam, insomnia, dan kehilangan rasa percaya diri,” kata Rahmaniwati, AMTG, S.Pd., M.Kes, seorang ibu tunggal yang kini hanya mengandalkan gaji pensiun yang sangat minim. “Kami merasa dihina, seolah-olah kami tidak ada harganya,” tambah Nelly Frida Hursepuny, M.Psi, Psikolog, yang menilai PHK ini sebagai penghinaan terhadap martabat mereka.