JAKARTA, Mediakarya – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa manusia unggul bukan hanya diukur dari kekuatan fisik atau kecerdasan semata, tetapi dari iman, budaya, dan keteguhan janji. Menurutnya, bangsa Indonesia memiliki warisan nilai luhur yang bisa dijadikan pedoman untuk membangun karakter generasi masa depan yang beriman sekaligus toleran.
*Budaya sebagai Iman yang Hidup.*
Sejak dahulu, orang Sunda meyakini bahwa iman tidak berhenti pada ritual, melainkan harus tercermin dalam tindakan sosial. *Nilai itu terangkum dalam rukun hidup: nulung kanu butuh (menolong yang membutuhkan), nalang kanu susah (membantu yang kesulitan), ngahudangkan kanu sarek (membangunkan yang tertidur), nyaangan kanu poekun (menerangi yang dalam kegelapan), nepak kanu poho (mengingatkan yang lupa), dan ngantur kanu keung (membimbing yang bingung).
Nilai-nilai tersebut membuat iman menjadi hidup, karena tidak berhenti di tempat ibadah tetapi hadir di sawah, pasar, dan jalanan. Iman dalam budaya ini otomatis melahirkan sikap toleransi: siapa pun bisa ditolong, apa pun latar belakangnya.
“Manusia unggul adalah mereka yang tidak hanya teguh pada iman, tetapi juga mempraktikkan kebaikan sosial sehari-hari, tanpa membeda-bedakan suku, agama, atau golongan,” kata Haidar Alwi.
Filosofi Saling Menjaga
Selain rukun iman sosial, terdapat pula ajaran sili asah, sili asih, sili asuh yang mengajarkan pentingnya saling mengasah pengetahuan, saling mengasihi dengan cinta, dan saling mengasuh dengan kasih sayang.
Bila dijalankan, ajaran ini akan melahirkan silih wangi, manusia saling mengharumkan dan menjaga martabat bersama. Menurut Haidar Alwi, nilai seperti ini justru menjadi energi persatuan yang dibutuhkan Indonesia di era modern.
“Filosofi Sunda harus dipahami sebagai energi moral untuk membangun bangsa yang rukun, damai, dan penuh toleransi,” jelas Haidar Alwi.
Simbol Prabu Siliwangi: Ketenangan dan Integritas.
Warisan Prabu Siliwangi kemudian memadat dalam simbol-simbol besar yang hingga kini tetap relevan. Harimau atau Maung misalnya, dipilih sebagai lambang manusia unggul. Ia gagah, mandiri, tidak pernah kecewa meski gagal berburu, dan tetap tenang menghadapi keadaan.
Bagi Haidar Alwi, Harimau adalah cermin spiritual. Ia mengajarkan ikhlas, sabar, dan keberanian menghadapi tantangan. Di sisi lain, Prabu Siliwangi juga mewariskan simbol Kujang. Senjata khas ini bukan sekadar pusaka, melainkan lambang moral: kukuh karena janji.
Keduanya, Maung dan Kujang, adalah pengingat bahwa manusia unggul harus berani sekaligus teguh memegang janji. Itulah kunci integritas sejati.
“Indonesia membutuhkan lebih banyak Maung: manusia unggul yang kukuh pada janji, berani menjaga persatuan, dan siap merangkul perbedaan dengan toleransi,” tegas Haidar Alwi.
Dalam pandangan Haidar Alwi, warisan nilai-nilai Prabu Siliwangi tidak boleh hanya menjadi cerita masa lalu. Ketika bangsa Indonesia menghadapi tantangan global, krisis moral, dan gempuran budaya asing, jawaban justru ada pada jati diri sendiri.
Menjadi manusia unggul berarti setia pada janji, menolong sesama, berani menghadapi hidup, dan ikhlas menerima segala hasil. Nilai ini ada dalam budaya Sunda, tetapi sejatinya adalah warisan universal bagi seluruh bangsa.
“Jika kita ingin Indonesia menjadi bangsa besar, jadilah Maung sejati: manusia unggul yang berani, ikhlas, penuh kasih, serta menjunjung tinggi toleransi,”pungkas Haidar Alwi.