Oleh: Dr. Rachma Fitriati, M.Si., M.Si (Han) – (Ketua Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia di Pulau Morotai Maluku Utara)
Di ketinggian langit Morotai, angin mengusap bekas-bekas sejarah yang tak pernah usai. Di atas tanah yang pernah menopang semangat MacArthur dan menyambut pekik Trikora, kini bersemayam ironi yang lebih dalam dari Samudera Pasifik. Morotai tak lagi ditakuti oleh bom atau pekik perang, namun oleh keheningan paradoks: laut yang dihuni 2.600 ton tuna per tahun hanya menyisakan cerita remah bagi nelayan lokal, sementara 13.400 hektar tanah kelapa dengan 8.207 ton produksi tahunan meninggalkan gunungan sabut, batok, dan air kelapa yang tak tersentuh nilai. Di pulau yang pernah mengubah peta peradaban dunia, pembangunan justru tersendat dalam ilusi kemandirian.
Dalam gegap gempita Hari Bhakti Transmigrasi setiap 12 Desember, narasi kerap terjebak pada romantisme perpindahan penduduk. Namun, di Morotai, bhakti sejati bukanlah soal memindahkan manusia dari satu pulau ke pulau lain. Ia adalah seni memindahkan paradigma—dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi regeneratif, dari pendekatan sektoral yang terfragmentasi menuju sinergi sistemik yang menyatu. Menteri Transmigrasi dalam forum FDGBI di ITS menggaungkan “transmigrasi untuk ekonomi baru Indonesia”, dan tak ada laboratorium yang lebih hidup untuk menguji gagasan ini selain Morotai.
Suara dari Dalam: Nelayan yang Menjadi Penonton, Petani yang Kehilangan Rantai Nilai
Berjalanlah ke pesisir Bere-bere saat fajar. Di sana, nelayan tradisional dengan perahu kecil memandang jauh ke horizon, di mana kapal-kapal 30 GT mengarungi zona 0-4 mil yang seharusnya menjadi ruang hidup mereka. Data Tim Patriot UI mengungkap pelanggaran sistematis terhadap Permen KP No.18/2021, yang berevolusi menjadi struktur monopsoni. Hasil tangkapan mereka dijual murah atau dibiarkan membusuk, karena cold storage 200 ton di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) mati suri oleh ketidakstabilan listrik. Rantai dingin terputus di tengah jalan, meninggalkan nelayan sebagai pedagang bahan mentah yang rentan.
Berbeloklah ke daratan, di antara hamparan kelapa yang membentang sejauh mata memandang. Dari setiap buah kelapa, hanya 31% daging yang diolah menjadi kopra, dijual seharga Rp 16.000 per kg. Sisanya—69% berupa sabut (25%), batok (16%), dan air kelapa (28%)—terbuang percuma. Padahal, dengan teknologi yang tepat, sabut dapat diubah menjadi coco fiber bernilai tinggi untuk industri otomotif dan spring bed, batok menjadi briket arang yang diminati pasar Korea dan Jepang, serta air kelapa menjadi nata de coco yang permintaannya melonjak di pasar Asia. Ironinya, potensi senilai miliaran rupiah itu menguap menjadi asap pembakaran sampah.
Dua kisah ini, meski berbeda latar, bersumber dari akar yang sama: kegagalan sistemik dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang adil dan terintegrasi. Dan di sinilah, bhakti transmigrasi menemukan makna barunya: bukan sebagai program pemindahan penduduk, melainkan sebagai strategi kebudayaan untuk merajut kembali hubungan yang terputus—antara manusia dan sumber daya, antara laut dan darat, antara tradisi dan inovasi.
