- Terkait kepatuhan impor terlihat kota dan realisasi impor tidak berdasarkan data riil. Celah ini terus dimanfaatkan sejak 2015 tanpa pembenahan berarti.
- Dari sisi subsidi pangan, terlihat dana triliunan rupiah untuk rakyat miskin justru dikorupsi dengan modus volume dikurangi dan distribusi fiktif.
- Dari data pangan: sistem informasi terfragmentasi. Rekomendasi integrasi berbasis NIK dari BPK hanya diadopsi 78%, lamban, dan setengah hati.
- Penegakan hukum baru pada tahun 2025 aparat penegak hukum serius bertindak. Sebelumnya, kasus seperti ini lebih sering ditutup secara administratif.
Apa Yang Harus Dilakukan Negara Sekarang?
Oleh karena itu, IAW merekomendasikan empat langkah mendesak. Pertama, bangun sistem data pangan nasional terpadu untuk mengintegrasikan data Kementan, BPS, Bulog, dan Kemensos dalam satu sistem berbasis NIK atau Indeks Bantuan Pangan (IBP).
Kemudian kedua, sanksi progresif untuk korporasi pelanggar SNI berupa pencabutan izin edar, denda berjenjang, hingga tuntutan pidana korporasi. Jangan cuma salahkan pengecer kecil!
Ketiga, audit Bansos beras setiap semester melalui kolaborasi BPK–KPK untuk mengaudit e-voucher dan distribusi bansos secara digital.
“Dan terakhir, bentuk joint task force investigatif pangan, berupa gabungan antara BPK, Satgas Pangan Polri, dan kelompok masyarakat konsumen untuk audit mutu secara berkala,” jelasnya.
Menutup Tidur Panjang 10 Tahun
IAW menilai kejahatan pangan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika beras oplosan atau takaran kurang dibiarkan, maka bukan hanya uang negara yang hilang, tapi kepercayaan publik juga ikut lenyap.
“Tahun 2025 bisa jadi awal yang baik, asalkan tidak berhenti pada pemeriksaan semata. Indonesia harus membangun tata kelola pangan yang transparan, terhubung, dan tegas terhadap pelanggar,” ucap Iskandar.
“Jika ini terus dibiarkan maka kami memprediksi negara berisiko kehilangan hingga Rp20 triliun per tahun hanya karena beras tidak diawasi dengan benar,” pungkasnya.**