Jokowi Menghitung Hari 

Ilustrasi (Fot: Ist)

Oleh: Agus Wahid

Tak disangka. Muncul momentum perlawanan rakyat secara massif dan ekstensif. Itulah eskalasi gerakan anti Jokowi, akibat campur tangannya menolak putusan MK No. 60 dan 70/PUU-XXII/2024. Pembegalan konstitusi itu dilawan ekstra keras.

Perlawanannya tidak hanya di tengah Jakarta, tapi kota-kota besar lainnya juga menunjukkan pembangkangan rakyat terhadap rezim saat ini. Pembangkangannya merupakan akumulasi masalah kenegaraan yang terpendam sekian lama. Maka, ketika ada momentum, meledaklah emosi perlawanan itu.

Rakyat menunjukkan ketidakpercayaannya (distrust) kepada Jokowi. Secara de facto, Jokowi telah kehilangan legitimasi. Harusnya mundur dengan gentle, tanpa harus dilengserkan secara hard landing.

Namun, tampaknya, tak ada sinyal atau body language  yang mengarah pada introspeksi dan menyadari lalu berniat mengundurkan diri. Justru, Mulyono (nama kecil Joko Widodo) ini menunjukkan karakter aslinya.

Tatapan mata kediktatorannya tampak jelas, yang kemudian diterjemahkan oleh aparat keamanan (kepolisian dan tentara) dengan mengerahkan kekuatan fisiknya. Di lapangan, kita saksikan, mereka menyemprotkan gas air mata tanpa henti, menginjak-injak, menendang dan memukuli para pengunjuk rasa. Wartawan peliput pun mendapatkan tindakan represif

Dalam perspektif psikologi massa, keberjatuhan banyak korban justru membangkitkan perlawanan yang lebih besar dan membesar serta lebih meluas. Muncul solidaritas antar masyarakat kampus, akademisi dan kalangan masyarakat awam, terutama kaum pekerja (buruh).

Itulah yang tidak dibaca oleh rezim saat ini, bahkan para kroninya sebagai inner circle. Tak disadari, telah terjadi akumulasi yang “menggunung” dalam diri rakyat selama ini. Kini, saatnya “gunung-gunung” meledak. Tinggal pencet remote controlnya.

Di tengah model peledakan “manual dan tradisiopnal” dalam wajah unjuk rasa massif, tidak tertutup kemungkinan akan muncul kreasi perlawanan rakyat. Jika ini terjadi maka akan terjadi efek domino yang serius. Yaitu, gerakan massa yang  masif. yang dikhawatirkan akan terjadi aksi 1998 jilid 2.

Sementara, gerakan sosial itu akan mengancam posisi ekonomi dan moneter nasional. Di depan mata, gerakan sosial dan politik itu akan menjadi pendulum naiknya inflasi secara hiperbolik. Pendapatan ekonomi masyarakat pun mengalami drop. Mereka berpotensi menarik dananya dari bank-bank yang menyimpannya. Maka, di depan mata, akan terjadi rush. Negara pun bukan hanya akan drop penerimaannya, tapi ikut terguncang akibat krisis ekonomi dan moneter itu.

Secara simplistis, krisis ekonomi dan moneter itu akan memperbesar gelombang aksi massa. Semakin menasional. Masuk ke seluruh relung perkotaan. Maka, tinggal satu kata yang harus dilakukan rezim Jokowi lempar handuk, sebagai tanda menyerah.

Tapi, mungkinkah itu dilakukan? Mengutip catatan Bahlil Lahadalia, Mulyono tak akan menyerahkan diri. Ini berarti, hard landing memang pilihannya. Memang, akan semakin besar jumlah korban. Tapi, inilah risiko perjuangan.

Berbeda di era  Soehrto. Ketika massa sudah demikian massif menuntutnya turun, beliau tak mau mengerahkan angkatannya untuk membantai rakyatnya sendiri. Masih ada Pancasila di dadanya.

Kini, Prabowo akan berada di mana? Berpihak pada junjungannya sekarang (terhadap rezim Jokowi) sampai akhir jabatannya, justru akan menjadi bumerang pada kekuasaannya mendatang. Yang lebih etis dan strategis adalah berpihak pada gerakan rakyat.

Caranya? Sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), ia punya otoritas untuk melarang TNI dan POLRI menggunakan tindakan represifnya. Meski kedua lembaga ini ada di bawah Panglima Tertinggi, tapi krisis legitimasi yang ada pada diri Jokowi dapat dijadikan dalih bagi Menhan untuk mengambil prakarsa  (instruksi) stabilitas politik dan keamanan. Langkah yang berguna dalam menset up pemerintahan Prabowo mendatang. 

Yang perlu dicatat, instruksi Menhan di lapangan lebih operasionalized dibanding Menko Politik dan Keamanan. Jalur hirarkis kesatuan TNI dan POLRI bersifat langsung. Dengan posisinya sebagai presiden terpilih, Probowo lebih kuat pengaruhnya dibanding Mulyono saat ini.

Sebuah renungan, dalam posisi terjepit sekarang, apakah Jokowi akan mengambil kebijakan yang melawan arus besar, yaitu mengeluarkan dekrit? Kemungkinan itu terbuka. Tapi, apakah efektif? Lagi-lagi Prabowo berkepentingan untuk melawan dekrit itu. 

Akhirnya, sikap tegas Prabowo akan menyatu dengan kehendak rakyat yang sudah muak melihat kelakuan Jokowi si “raja” otoriter. Kebersamaan Prabowo-rakyat akan menjadi “sesuatu” keniscayaan. Meski dulu tercermar namanya karena cara menggapai kekuasaan, tapi sikap bahu-membahu Prabowo dan rakyat, akan mengubah padangannya menjadi positif dan simpatik. 

Penulis: Analis Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *