Oleh: Agus Wahid
Ketua majelis persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus perkara pengujian Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Bagi masyarakat yang mengunginkan adanya reforasi Polri secara menyeluruh, tetunya putusan itu sangat tepat ditengah menurunnya tingkat kepercayaan publik pada Korps Bhayangkara tersebut. Putusaun Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menyatakan, rangkap jabatan anggota aktif kepolisian tidak dibenarkan, karena melanggar konstitusi. Itulah pengesahan putusan tertanggal 13 November kemarin. Berlaku mengikat dan langsung berlaku efektif.
Sebuah tantangan langsung menghadang, bagaimana memberlakukan putusan MK yang sangat fundamental itu? Fundemental untuk kebaikan tata-laksana kebernegaraan, agar tidak terjadi over lapping bagi aparatur kepolisian dalam menjalankan tugas, dan tentu untuk menciptakan kinerja yang profesional dan lebih fokus sesuai tupoksinya. Jika di antara misi besar dan substantif ini diterjemahkan secara profesional, maka aparatur kepolisian saat ini bisa menjadi leading actor dalam menyertai upaya maksimal penegakan hukum di level awal, terkait korupsi, pemeliharaan lingkungan untuk kedaulatan RI, bahkan untuk kasus perorangan yang “menjijikkan” seperti kasus dramatalogi ijazah palsu Mr. J. Focussing on duty and professional akan mengantarkan marwah kepolisian akan menaik.
Dan yang sangat fundamental lagi, putusan MK bisa kita nilai sebagai langkah sistematis untuk mencegah terjadinya abuse of power di tengah institusi dan aparat kepolisian atas kekuasaan yang disangganya. Di manapun, yang namanya penyalahgunaan kekuasaan pasti dan pasti jahat dan nerusak tatanan.
Maka, sungguh ideal “aral-aral” (ruh) putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 itu. Sebuah karya hukum yang sungguh mulia. Senafas dengan spirit reformasi yang digulirkan dan diperjuangkan semasa Era Reformasi. Tapi, hal ini tentu dari kacamata supremasi sipil.
Bagaimana dengan institusi (aparatur kepolisian) memandang putusan MK itu? Sebagai institusi, tentu mendambakan karya regulasi yang terbaik untuk negara dan rakyat. Jika institusi Polri bisa “ngomong”, ia pun akan menegaskan, “inilah yang kukehendaki selama ini”. Agar marwah dirinya tidak selalu tercoreng. Agar kembali ideal sebagai jatidiri Bhayangkara. Dan di tengah institusi Polri ini pasti ada bahkan kemungkinan banyak yang menaruh hormat dan terima kasih pada putusan MK. Mereka yang setia pada sumpahnya sebagai Bhayangkara tentu bersikap hormat terhadap nilai-nilai luhur sejarah didirikannya institusi Polri.
Lalu, adakah aparatur Polri yang tidak welcome atau tidak enjoy dengan putusan MK itu? Penampakan yang hingar-bingar, arogansi dan amburadul dalam panorama hukum dan keamanan bagian dari bukti yang tak bisa disangkal. Tidak sedikit oknumnya. Sudah demikian mengakar (sistemik). Terkendali secara struktural. Komponen ini sangat boleh jadi sedang galau. Keberatan. Meronta. Sangat tidak ikhlas dengan putusan larangan rangkap jabatan. Mereka hanya pilih satu opsi. Tetap berada di satuannya (Polri), atau tetap di instansi sipil dengan konsekuensi lepaskan ikatan dinasnya dari satuan Polri.
Bagi sebagian komponen aparat Polri yang selama ini menikmati pembolehan rangkap jabatan kini dalam dilema yang sangat serius. Bisa jadi, tak bisa tidur berhari-hari. Lepas dari kedinasan utamanya (satuan Polri) justru akan hilang powernya. Sangat mungkin tak ada harganya di mata sipil, terutama di kantor-kantor swasta, yang selama ini dieksploitase oleh entitas pebisnis aseng. Tidak tertutup kemungkinan, kalangan swasta eksploitator itu sudah siap-siap “menendang” aparatur kepolisian pasca putusan MK itu. Karena, tak berfungsi lagi sebagai “penggonggong” yang menakutkan, di lapangan atau lainnya.
Sementara, di kantor-kantor pemerintah sipil, juga akan muncul ego kaum sipil yang merasa tidak lebih rendah dibanding aparatur kepolisian. Hal ini akan mengikis kridibelitas aparatur kepolisian di sejumlah kantor pemerintahan seperti KPK, Bea Cukai, BUMN, dan sejumlah kementerian teknis atau nonteknis.
Kini, kalangan Komjen yang selama ini menikmati “jatah” pembolehan rangkap jabatan diperhadapkan kegalauan tersendiri. Jika pilih bertahan pada institusi sipilnya, berarti atas nama kompetensi dan prinsip fairness harus mengikuti uji kompetensi berdasarkan sistem matrik. Jika gagal, berarti harus kembali ke satuannya. Di sinilah tantangan terbayang. Karena, sejauh ini gaya hidupnya sudah tidak tegak lurus dengan gaji dan tunjangan halalnya.
Jika kembali ke institusinya, sementara tak memungkinkan mengubah gaya hidup hedonnya seperti membalikkan tangan, maka sangatlah besar terjadinya potensi penyalahgunaan kewenangannya, minimal, dari program internal. Dan itu melanggar sumpah jabatannya, dan UU lainnya, termasuk potensi pidana. Kondisi internal Polri menjadi sangat tidak sehat. Saling sikut. Bisa jadi, lebih sadis. Saling memangsa.
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah putusan MK didesaian untuk menghancurkan martabat institusi dan aparatur Polri? Tidak. Cara berpikirnya harus dibalik. Melalui putusan MK itu, Polri memang harus tergerak aktif untuk mereformasi diri. Putusan MK bisa dikatakan cukup membantu Komisi Reformasi Kepolisian yang belum lama ini terbentuk.
Harus kita catat, salah satu elemen di tengah kepolisian yang tidak mudah direformasi adalah karakter aji mumpung (carpedium: Latin). Mumpung berkuasa, di antara mereka demikian tega menginjak-injak hak asasi anak bangsa, terkait hak politik, sosial dan ekonomi. Entah berapa ribu jiwa yang menjadi kobran akibat rasa mumpung berkuasa atau merasa diback up oleh rezim penguasa. Jiwa rakyat tiada harganya.
Karakter carpedium ini sudah demikian menggurita. Di dalam lembaga internalnya sendiri sudah terbangun sistem blockage based on angkatan di lembaga AKPOL-nya. Jika dari atasnya (Kapolri) angkatan X, maka angkatan ini akan memimpin seluruh jabatan strategis, di Kantor Pusat, Provinsi ataupun daerah, termasuk untuk memimpin lembaga-lembaga sipil. Mental aji mumpung ini sepertinya merupakan spirit perkawanan seangkatan.
Tapi, model pertemanan seperti itu memicu insoliditas, kecemburuan, bahkan merusak sistem career path yang direncanakan institusi. Pengrusakan sistem karir ini menggiring hopeless. Bahkan loyalitas terhadap institusi pun terkikis. Yang penting isih dapat gaji, sembari menunggu pensiunan. Sangat tidak produktif. Inikah abdi negara yang didambakan? No.
Yang memprihatinkan lagi, terjadi gerakan “kompak” saling melindungi ketika di antara angkatan itu melakukan kejahatan kemanusiaan, atau pelanggaran serius lainnya. Panorama ini – perlu kita telisik – bukan semata-mata solidaritas sosio-psikologis, tapi terdapat kemungkinan terjadinya persekongkolan economic crime, atau motif lainnya. Bisa terencana, bisa di luar rencana. Untuk hal ini kita bisa mencacah sejumlah catatan sosial dan lingkungan (kasus PIK 2 dan Rempang), atau sektor lainnya (wilayah pertambangan). Sangat gamblang.
Dan “kekompakan” itu tampak efektif manakala sesama angkatan ditugaskan, tidak hanya di institusi utamanya (POLRI), tapi lembaga lainnya yang tercatat sebagai lembaga sipil seperti KPK, PNPT, BNN dan lainnya. Maka, satu hal konstruktif dari putusan MK adalah urgensi untuk secara perlahan-lahan – mengubah sistem posisi aparaturnya, di antaranya larangan merangkap jabatan. Selajutnya, biarlah Komisi Reformasi Kepolisian melakukan kajian, pengamatan atau observasi intensif secara langsung (on the spot) atau melalui media sosial dan lainnya sebagai sistem pengawasan melekat.
Putusan MK sungguh ideal bagi kepentingan negara dan rakyat. Juga, bagi kepentingan institusi Polri. Dan secara substantif putusan MK itu juga merupakan kasih sayang kemanusiaan. Bagi apartur kepolisian yang sudah melakukan penyimpangan namun diberi waktu untuk berbenah diri. Sebab, masih ada esok yang terus menanti: alam kubur. Sungguh mengerikan jika dipanggil oleh sang Pemilik tapi dirinya belum sempat bertaubat.
Penulis: Analis Politik




