Keruntuhan Bangsa Akibat Ketiadaan Ahlak Mulia

Oleh: Amir Santoso

Indonesia tidak sedang kekurangan orang pintar. Yang semakin langka justru orang berahlak dan beretika. Ironisnya, krisis ini tumbuh subur di tengah sistem pendidikan yang setiap tahun mengklaim diri makin maju, modern, dan berorientasi masa depan.

Kita mencetak lulusan dengan nilai tinggi, gelar panjang, dan kemampuan digital mumpuni, tetapi gagal melahirkan manusia yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Akibatnya terlihat jelas: korupsi tak pernah surut, kekuasaan sering kehilangan malu, dan generasi muda tumbuh dalam kebingungan nilai.

Ini bukan sekadar krisis moral individu. Ini adalah kegagalan kolektif bangsa dalam menjadikan ahlak sebagai fondasi pendidikan dan kekuasaan.

Pendidikan Kita Terlalu berorientasi kepada kepintaran tapi kurang pada kebiijaksanaan.
Ki Hadjar Dewantara sejak awal telah mengingatkan:

“Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.”

Namun pendidikan Indonesia hari ini lebih mirip mesin produksi nilai dan ijazah, bukan penuntun watak dan nurani. Sekolah sibuk mengejar ranking, akreditasi, dan kelulusan, tetapi abai membentuk karakter. Akibatnya, anak-anak belajar bahwa Nilai lebih penting daripada kejujuran, Prestasi lebih penting daripada empati, Kepintaran lebih penting daripada integritas.

Kita lupa bahwa orang cerdas tanpa etika justru lebih berbahaya. Mereka tahu celah hukum, paham sistem, dan mampu memanipulasi kekuasaan.

Anak Muda: Korban Sekaligus Cermin Bangsa

Generasi muda sering dituding sebagai penyebab krisis moral. Padahal, mereka adalah produk dari sistem dan teladan yang disediakan negara. Di media sosial, mereka melihat: Pejabat bermasalah tetap berkuasa, Pelanggar etika tetap dihormati, Kejujuran justru sering kalah oleh popularitas.

Apa pesan yang sampai kepada warga bangsa? Etika tidak menentukan masa depan, kekuasaanlah yang menentukan.

Tanpa pendidikan ahlak yang kuat, anak muda tumbuh cepat secara teknologi, tetapi rapuh secara moral. Mereka fasih berbicara, tetapi miskin tanggung jawab. Berani beropini, tetapi mudah menghakimi.

Pejabat Pemerintah: Keteladanan yang Hilang

Tidak ada pendidikan karakter yang berhasil tanpa contoh nyata dari penguasa. Bung Hatta pernah berkata:

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, tetapi tidak jujur sulit diperbaiki.”

Sayangnya, justru ketidakjujuran sering dipertontonkan di ruang publik. Ketika pejabat melanggar etika tanpa konsekuensi serius, negara sedang mengajarkan satu pelajaran berbahaya kepada generasi muda: moral itu fleksibel jika punya kuasa.

Padahal jabatan publik bukan sekadar amanah hukum, tetapi amanah etika. Tanpa etika, kekuasaan hanya akan melahirkan ketidakadilan yang dilegalkan.

Kelemahan Fundamental Sistem Pendidikan Kita

Masalahnya bukan ketiadaan kurikulum karakter, melainkan ketidakseriusan menjadikannya jiwa pendidikan. Beberapa kelemahan mendasar:

1. Pendidikan Etika Bersifat Teoritis dan Seremonial
Diajar, tetapi tidak dihidupkan.

2. Keteladanan Lemah di Sekolah dan Negara.
Anak melihat kontradiksi antara pelajaran dan realitas.

3. Minim Diskusi Moral Nyata. Korupsi, kekuasaan, keadilan sosial jarang dibahas secara jujur.

4. Evaluasi Karakter Tidak Pernah Menentukan. Yang menentukan masa depan tetap nilai akademik.

5. Guru Terjebak Administrasi.
Pembinaan watak kalah oleh laporan dan target.

Kurikulum yang Seharusnya Diperjuangkan

Indonesia tidak kekurangan nilai luhur. Pancasila, agama, dan budaya telah menyediakan fondasi. Yang kurang adalah keberanian menjadikannya pusat pendidikan nasional.

Kurikulum ke depan harus menempatkan:

1. Etika Terapan sebagai Inti

Etika kekuasaan, etika digital, etika ekonomi, dan etika sosial harus diajarkan lewat kasus nyata.

2. Pendidikan Kewargaan Berbasis Integritas

Bukan hafalan, tetapi praktik kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian.

3. Keteladanan sebagai Metode Utama

Guru dan pejabat pendidikan harus menjadi contoh, bukan sekadar pengajar.

4. Ruang Dialog Moral

Anak muda perlu diajak berpikir, bukan diindoktrinasi.

5. Karakter sebagai Penentu Kelulusan

Kejujuran dan tanggung jawab harus bernilai nyata, bukan slogan.

Penutup: Ahlak Adalah Soal Hidup-Mati Bangsa

Soekarno pernah mengingatkan:

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati nilai-nilai moral dan kemanusiaan.”

Jika pendidikan terus mengabaikan ahlak, maka Indonesia sedang menyiapkan masa depan yang canggih secara teknologi, tetapi rapuh secara moral. Negara bisa maju di atas kertas, namun runtuh dalam praktik.

Ahlak bukan warisan masa lalu. Ia adalah syarat mutlak masa depan.

Tanpa etika, hukum kehilangan makna, kekuasaan kehilangan arah, dan generasi muda kehilangan harapan. Dan jika itu terjadi, maka yang kita hadapi bukan sekadar krisis pendidikan, melainkan krisis peradaban.

Penulis: Guru besar FISIP UI; Mantan Rektor Universitas Jayabaya, Mantan Anggota DPR/MPR.

Exit mobile version