Oleh: Prof Dr. Yudhie Haryono
“Begitu seorang presiden mulai berpikir tentang pertumbuhan ekonomi, hampir tidak mungkin baginya untuk memikirkan hal lain (Robert Lucas/1995).” Inikah yang terjadi 25 tahun kita bereformasi? Mari kita cek satu-satu.
Alih-alih meningkat rasa memiliki terhadap negara, tahun demi tahun justru menurun drastis. 10 tahun terakhir kita melihat gejala terbentuknya negara swasta yang secara serius melakukan program swastanisasi, privatisasi, deregulasi dan de-ideologisasi.
Ini memang resep ajaib mahzab neoliberal penyembah pasar, sehingga anti negara sejahtera, anti warga-negara sentosa. Mahzab ini menempatkan “ujaran pertumbuhan” sebagai kunci utama tegaknya pemikiran tersebut. Lalu, apa yang terjadi berikutnya?
Praktis pemerintahan baru tidak berniat menyelesaikan satupun problema yang menimpa rakyat miskin: penggusuran rumah, alih kepemilikan tanah, penyiksaan dan pengusiran dari teritori hunian. Negara juga lambat hadir saat bencana alam, badai PHK, pelemahan hukum dan konflik horisontal antar warga-aparat-konglomerat.
Saat bersamaan, pemerintah melakukan inefisiensi dan biaya tinggi dalam pengelolaan keuangan. Negara kurang konsisten dalam layanan publik sehingga defisit, yang lucunya secara bertahap mencekik warga-negara dengan pajak yang meninggi untuk menutup defisit anggaran tersebut.
Akibatnya, akuntabilitas dan transparasi anggarannya sangat berkurang, bahkan terkesan menipu. Karenanya KKN bukannya dihabisi, ia justru makin mentradisi di semua lini. KKN yang mentradisi mengakibatkan ketimpangan dan keburukan fasilitas serta aksesnya. Layanan yang disediakan oleh negara menjadi tidak dapat diakses oleh semua warga-negara, terutama mereka yang kurang mampu, sehingga dapat memperlebar kesenjangan sosial.
Lebih dalam dari itu semua, negara swasta membuat prioritas keuntungan dengan timpang bahkan salah sasaran. Perusahaan besar, konglomerasi, oligarki, asing, aseng dan asong lebih diprioritaskan keuntungannya daripada kepentingan publik, sehingga mengabaikan kebutuhan dan kesejahteraan seluruh warga-negara.
Negara swasta lahir secara perkasa dan meraksasa karena para aparatusnya mengalami rabun ideologi negara (de-ideologisasi). Mereka melupakan tujuan, konsensus, konstitusi dan sejarah berdirinya negara kita. Padahal fungsi ideologi negara itu sangat vital.
Secara teoritik, ideologi negara berfungsi untuk memandu kebijakan pemerintahan. Ia sumber hukum, rujukan akselerasi. Ideologi negara menjadi landasan bagi pembuatan kebijakan publik dan keputusan politik yang solid, mengakar pada tradisi dan jati diri serta mental nasional.
Ia juga befungsi sebagai perekat hubungan sosial antar semua warga-negara. Ideologi negara selalu menjadi perekat sosial yang mempersatukan dan meningkatkan kesadaran akan identitas nasional. Ia melampaui (beyond) suku, ras dan agama yang plural untuk membentuk identitas nasional.
Saat bersamaan ia berfungsi sebagai pengarah pembangunan nasional. Dengannya kita mampu menentukan prioritas dan tujuan pembangunan: model, modul dan modalnya. Setelah itu, ia berguna untuk membentuk nilai kebangsaan dan norma kenegaraan. Tentu akan terjadi saling mempengaruhi perilaku dan sikap warga negara agar terjadi hibridasi.
Singkatnya, ideologi negara dapat menjadi sumber legitimasi kekuasaan pemerintah, sehingga meningkatkan kepercayaan dan rasa kepemilikan warga-negara terhadap pemerintah. Tak bisa dipungkiri, ideologi negara memainkan peran penting dalam membentuk identitas nasional, memandu kebijakan serta mempengaruhi perilaku warga-negara sambil membuat “naiknya kedaulatan dan kemartabatan negara” di level dunia.
Tanpa menghadirkan ideologi pancasila dalam bernegara, praksis kita sedang memproduksi terlalu banyak pejabat-penjahat yang tidak berguna, sambil menghasilkan terlalu banyak undang-undang yang tidak berfungsi bagi kita semua.
Penulis: CEO Nusantara Centre