Ia menyebutkan dari pendapat yang berkembang saat ini munculnya pendapat dan sikap dikarenakan alasan prinsip. Perbedaan penafsiran akan pasal 22 E ayat (1) dan (2) Bab VII B, dan harus disatukan dengan pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, dengan berbeda penafsiran, dianggap putusan MK 135 Tahun 2024 tidak sesuai ketentuan konstitusi.
“Jika ditindaklanjuti oleh DPR RI, akan pula merasa tindak lanjut tersebut harus mengabaikan perbedaan penafsiran yang sangat prinsip ini yang tentu implikasinya menjadi panjang dan rumit. Sebab, untuk tindak lanjut harus melakukan perubahan terlebih dahulu UUD NRI Tahun 1945, apakah perubahan terbatas atau tidak,” jelasnya.
Bagi MPR, kata Rambe, sesuai pasal 3 ayat (1) bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang pada intinya dapat atau punya kewenangan menafsirkan pasal-pasal UUD tersebut, agar segera melakukan konsultasi (sesuai Tatib) MPR pasal 26, bahwa Pimpinan MPR, berwenang: mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau Pimpinan Lembaga Negara lainnya dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, serta mengundang pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok DPD untuk mengadakan rapat gabungan.
Konsultasi juga dilakukan kepada yang dianggap perlu atas hal tersebut, agar tidak menjadi dan mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
“Hal mana sengketa kewenangan tersebut diputus oleh MK sendiri. Untuk kita ketahui pula bahwa yang membatalkan putusan MK adalah MK sendiri. Namun jika seandainya kita taat pada keputusan MK tersebut bahwa dalam menata ulang konsep keserentakan pemilu, solusi legislasi pasca putusan MK tersebut dapat dilakukan dengan prinsip mengikuti putusan-putusan MK yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” tuturnya.
Di tempat yang sama pakar sosiologi hukum dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah berharap adanya pelibatan publik.