Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan), Agus Rizal (Ekonom Univ MH Thamrin)
Apa refleksi dan proyeksi kita merasakan bencana alam berulang-ulang? Satu jawaban yang sangat tepat adalah bahwa tragedy of the commons bukan teori usang di buku teks. Ia hidup di hutan yang habis, sungai yang tercemar, dan tanah yang dilubangi tanpa kendali. Ketika sumber daya alam dianggap milik manusia (serakah) tanpa tata kelola tegas, dan saat setiap aktor berlomba mengambil sebanyak mungkin sebelum yang lain bergerak lebih dulu maka boom: kehancuran ekologis.
Ujungnya bisa ditebak: eksploitasi berlebihan, kerusakan permanen, dan biaya sosial yang dibayar mahal oleh warga negara. Kegetirannya, banyak warga tak menikmati hasil dari proses “perampokan itu” ikut menikmati buah bencana yang luarbiasa. Apa kata nurani kita? Terlebih ini berulang tanpa tindakan pencegahan dan penindakan!
Fenomena bencana banjir besar di pulau Sumatera dan lainnya terjadi bukan karena penampung air seperti sungai, tanah, atau bendungan/waduk tidak lagi mampu menampung air. Juga, bukan karena datang dan naiknya volume air yang biasanya disebabkan oleh fenomena alam seperti hujan lebat dalam durasi waktu yang panjang. Tetapi jelas, akibat kerakusan dan kesangajaan. Rakusnya para oligark dan sengaja demi perluasan dan asuransi. Tentu ada aktor tengahnya: peraturan dan bantuan para pejabat (sebenarnya penjahat) yang berparadigma investasi.
Perusakan hutan adalah contoh paling nyata. Atas nama investasi dan pertumbuhan, hutan dibuka cepat tanpa menghitung daya dukung dan regenerasi. Kayu keluar, mineral diangkut, konsesi berpindah tangan. Yang tertinggal banjir, longsor, krisis air, dan hilangnya mata pencaharian lokal. Keuntungan jangka pendek dinikmati segelintir pihak, sementara kerugian jangka panjang dibagi rata ke publik.
Joseph Stiglitz (2020) mengingatkan sesuatu yang sering diabaikan dalam euforia eksploitasi. Sumber daya alam yang terpendam di dalam tanah tidak selalu harus diangkat. Dalam banyak kasus, membiarkannya tetap berada di dalam tanah jauh lebih rasional secara ekonomi dan lebih adil secara sosial dibanding menambangnya dengan ongkos lingkungan yang besar. Nilai bersihnya bisa negatif jika kerusakan ekologis, biaya kesehatan, konflik sosial, dan subsidi tersembunyi dihitung secara jujur.
Masalahnya bukan sekadar teknis, tetapi struktural. Oligarki mempercepat tragedi commons dengan memonopoli akses, mempengaruhi kebijakan, dan memindahkan risiko ke publik. Negara berubah menjadi wasit yang bias. Regulasi dilonggarkan, pengawasan dilemahkan, dan kritik dibungkam. Dalam skema ini, kata “pembangunan” dipakai sebagai tameng, sementara kerusakan dianggap konsekuensi wajar.
Di banyak kasus, eksploitasi dipercepat melalui “shock doctrine.” Bencana alam, krisis ekonomi, atau keadaan darurat dijadikan momentum untuk mendorong kebijakan ekstraktif yang sebelumnya sulit diterima publik. Saat warga negara sibuk bertahan hidup, aturan disapu bersih, izin dikebut, dan aset alam dilepas. Krisis selalu menjadi peluang politik dan ekonomi bagi segelintir elite. Sebaliknya bagi warga terdampak, krisis adalah kutukan tanpa solusi, apalagi proteksi dan subsidi.
Setelah itu, yang dimainkan adalah “goodwill politic.” Bantuan sosial, janji lapangan kerja, dan narasi “demi kepentingan nasional” digunakan untuk meredam penolakan. Kerusakan lingkungan dibungkus dengan citra kepedulian, seolah eksploitasi adalah bentuk kebaikan. Padahal, goodwill semu ini sering kali hanya menunda kemarahan publik, bukan menyelesaikan akar masalah.
Apa solusinya? Negara pancasila harus berdiri kembali. Ini cita-cita para pendiri republik. Sebab, Pancasila berdiri di posisi berlawanan. Keadilan sosial bagi seluruh warga negara tidak kompatibel dengan ekstraksi rakus yang mengorbankan alam. Kemakmuran menurut Pancasila menuntut keberlanjutan, pemerataan manfaat, dan perlindungan terhadap yang lemah juga termasuk generasi mendatang. Alam bukan objek untuk dihabiskan, melainkan fondasi hidup bersama.
Jalan keluarnya jelas dan keras. Hentikan ilusi bahwa semua sumber daya harus dieksploitasi. Terapkan prinsip “leave it in the ground” untuk komoditas berisiko tinggi, perketat tata kelola commons, cabut konsesi yang merusak, dan alihkan insentif ke ekonomi bernilai tambah rendah emisi. Transparansi, penegakan hukum, dan partisipasi warga negara bukan pelengkap—itu inti kebijakan.
Jika negara benar-benar serius pada Pancasila, ia harus berani melawan oligarki dan menghentikan tragedi commons. Kemakmuran sejati tidak lahir dari tanah yang rusak dan hutan yang habis. Ia lahir dari kebijakan berakal sehat: melindungi alam, membagi manfaat secara adil, dan memastikan pembangunan tidak menghancurkan fondasinya sendiri.
Tanpa pertobatan posisi pikiran, pertobatan fungsional, pertobatan kelembagaan, pertobataan struktural dan pertobatan subtansi dalam semua kelola alam ini, maka semua warga-negara wajib melakukan “gugatan classs action” atau gugatan perwakilan kelompok kepada pemerintah. Kerjakan dengan serius, fokus, terus menerus dan konsisten.
Ini adalah sebuah prosedur beracara dalam hukum perdata yang memberikan hak prosedural bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menjadi penggugat demi memperjuangkan sengketa yang menyebabkan kerugian atau penderitaan bagi puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Selanjutnya: tenggelamkan semua yang serakah dan semua yang sengaja membuat warga-negara paria.**
