Oleh: Agus Wahid
Demikian geram. Itulah sikap masyarakat ketika menyaksikan bahkan merasakan kian getirnya hidup di tanah air ini, akibat gencetan pajak yang naik secara hiperbolik, di samping sulitnya mengais rezeki. Tapi, dalam masa bersamaan, Pemerintah – saat membaca nota keuangan 15 Agustus kemarin – menaikkan gaji dan tunjangan wakil rakyat. Sebuah kebijakan yang membuat di antara wakil rakyat berjoged-ria. Tertangkap di kamera, di antaranya Ero Patrio dan Uya Kuya. Keduanya dari Fraksi PAN DPR RI.
Sontak, masyarakat nyinyir terhadap anggota Dewan yang jogged-ria itu. Kedua politisi yang berjatidiri artis itu – sejauh ini tak pernah bunyi perjuangannya untuk rakyat. Apa kinerjanya? Nothing. Maklum, kopong (kosong) otaknya. Keberadaannya hanyalah badut di arena lembaga legislatif itu.
Berbagai komponen masyarakat pun akhirnya menilai lebih jauh. Mereka yang berjoged itu tak punya empati terhadap nestapa rakyat. Nuraninya hilang. Itulah sebabnya, berbagai komponen masyarakat mendesak, DPR RI sebaiknya dibubarkan saja. Tak berguna bagi rakyat. Desakan ini menggiring Ahmad Sahroni berkomentar, “Mereka yang mendesak DPR RI dibubarkan itu manusia terlolol di dunia”.
Wow. Luar biasa responsi anggota DPR RI dari Fraksi NasDem itu. Cukup menggambarkan solidaritas antar sesama anggota DPR RI itu. Merasa dirinya tersinggung? Maybe.
Yang perlu kita telaah, sisi kontekstualitasnya. Apakah proporsional responsi Sahroni itu? Di satu sisi, pernyataan Sahroni memang proporsional. Fakta bicara, negara modern di manapun di dunia ini, pasti terdapat lembaga legislatif. Jangankan di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, negara bersistem monarchi pun memiliki instumen lembaga legislatif. Merupakan mitra kerja Pemerintah. Jadi, kita bisa memahami logika Sahroni yang mengkritik masyarakat “tertolol” bagi mereka yang mendesak DPR RI sebaiknya dibubarkan.
Tapi, haruskah mengambil diksi kata yang sangat kotor itu? Kita perlu mencatat, diksi kata yang diambil Sahroni mencerminkan kepribadian yang jauh di bawah standar jiwa yang sehat. Bisa dinila sakit secara nurani. Lebih dari itu, dia dinilai gagal memahami perasaan marah rakyat. Juga, gagal memahami latar belakang rakyat yang marah akibat himpitan ekonomi sebagai akibat kondisi ekonomi nasional yang memang lagi terpuruk, bahkan memang sengaja dipurukkan oleh antek-antek ternakan Mulyono (termul) yang kini masih bercokol di kekuasaan.
Yang perlu dicatat lebih jauh, sikap nyinyir wakil rakyat yang bernama Sahroni menggabarkan solidaritas korp yang tak diimbangi dengan data kinerja Dewan. Sebagian publik mencermati, data kinerjanya tidak semata-mata produk legislasi yang dihasilkan pada setiap tahunnya. Tapi, bagaimana sikap politik Dewan dalam merespon aspirasi masyarakat.
Data faktual bicara. Terkait RUU Perampasan Aset, Dewan menunjukkan resistensinya. Meski Presiden Prabowo sudah demikian marah, bahkan Kejaksaan Agung pun mengancam akan mengambil prakarsa untuk “menterjemahkan” sikap Prabowo, tapi hingga kini, Dewan masih berkelit: tak mau membahas usulan RUU Perampasan Aset itu.
Reaksi Dewan menggiring kecurigaan: jika RUU berhasil diundangkan, maka pundi-pundi yang dikeruk selama menjadi anggota dan atau pimpinan Dewan akan sirna. Kerja keras eksploitatifnya sebagai wakil rakyat sia-sia, bak ditelan “jin”.
Pertanyaan mendasarnya, apakah mereka melangkah ke Senayan untuk berdagang, atau mengabdi kepada negara dan bangsa? Jika jawabannya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa, mengapa ogah menerima dan membahas usulan RUU Perampasan Aset? Keogahan itu memperjelas motif atau niat ke parlemen: memang mau dagang. Hadir ke Sanayan dengan tekad untuk mengekspolitase kekuasaan formal yang bernama institusi DPR RI. Memang, jauh lebih “profitable” dan prestigius. Tapi, sarat dengan nuansa abuse of power.
Penyalahgunaan itu jika ia sehat secara mental dan nurani harusnya malu menjadi anggota Dewan, bukan bangga, apalagi menilai rendah terhadap elemen rakyat. Apakah kalian bisa hadir ke lembaga legislatif tanpa suara rakyat? Inilah proses politik yang gagal dipahami para anggota Dewan.
Karena itu, sikap anggota Dewan mengeluarkan kata kotor terhadap elemen masyarakat meminjam diksi yang sering digunakan Rocky Gerung sesungguhnya manusia yang paling dungu di negeri ini. Ia atau mereka tidak mengerti serangkaian proses politik menuju parlemen. Dengan proses normal (hasil pemilihan) atau hasil instan (beli suara di KPU), tapi tetap satu substansinya: perolehan suara rakyat adalah indikator mendasar bisa menjadi wakil rakyat. Suara rakyat menjadi basis utama.
Kedunguan itu pula yang membuat sejumlah anggota dan pimpinan Dewan terus mengabaikan aspirasi rakyat. Kita tahu, hasil pemilu kemarin sangat problematik, at least, wakil presiden RI yang cacat secara hukum. Fakta politik ini dipandang sebelah mata. Dengan dalih mekanisme politinya satu paket, DPR dan MPR tak mau merespon lebih jauh keberatan berbagai komponen rakyat terkait posisi Wapres saat ini.
Yang perlu kita catat, jutaan rakyat itu menunjukkan keberatannya, karena kapabilitas Gibran yang jauh di bawah standar. Juga, berbagai masalah yang menempel dalam diri Wapres saat ini.
Sebagai wakil rakyat, semestinya mau dan senantiasa mengindahkan aspirasi, bukan mengabaikan atau mengacuhkannya. Tapi, yang kita saksikan adalah sikap politik yang tetap resisten terhadap aspirasi rakyat. Lalu, apakah potret Dewan seperti ini masih dinilai mewakili elemen rakyat? Memang ada, sebagian elemen rakyat yang juga menerima hasil proses politik dan kualitas Gibran yang minim itu. Tapi, komponen ini bisa direview lebih jauh: bukan penerimaan murni.
Yang lebih krusial adalah, apapun aspirasi rakyat harusnya direspon lembaga DPR dengan penuh hormat. Namun, sekali lagi, responsinya tetap ogah. Maka, salahkah rakyat menilai anggota dan pimpinan DPR itu sejatinya dungu?
Akhirnya, kita perlu mencatat, pernyataan salah satu anggota Dewan yang menilai “manusia terlolol di dunia” itu sesungguhnya penilaian kotor itu berbalik pada dirinya. Maka, sebuah kata indah yang layak dibangkitkan, introspeksilah, bagaimana kualitas kinerja mayoritas anggota Dewan. Juga, bagaimana memelihara daya responsivitas Dewan terhadap sejuta aspirasi rakyat. Dan yang lebih subtsnsial adalah bagaimana nuraninya.
Di sisi lain, bersikaplah empati kepada sejumlah anggota Dewan yang sejatinya berkualitas. Sehat otaknya dan nuraninya. Jangan sampai sejumlah anggota Dewan yang berkualitas dan masih bernurani ini terkena imbas negatifnya akibat kecongkakan di antara anggota Dewan itu.
Dan the last but not last, kalian hadir sebagai anggota Dewan adalah sang pelayan rakyat. You are the servant, not the boss. It`s the real. Justru, rakyatlah sebagai bos kalian. Tak selayaknya dibalik. Inilah landasan teori politiknya. Jika gagal memahami keberadaan posisinya, itulah potret jatidirimu yang layak dikritik publik. Harus diterima kritikan itu. Tak perlu nyinyir. Stop membela secara membabi-buta, atas nama solidaritas sesama kolega atau kehormatan institusi. Cara membala kolega yang ideal haruslah dengan kinerja terbaiknya. Jika belum mampu suguhkan kinerja terbaiknya, tetaplah dengan sikap dan tutur kata santun. Tak selayaknya menyakiti hati rakyat.
Dan perlu dicatat, kritik rakyat merupakan proses pendewasaan. Dan resiko sebagai pejabat publik dan penerima uang rakyat. Tunjukkan dirimu bukanlah anak-anak TK (Taman Kanak-kanak), seperti yang disampaikan alm Gus Dur beberapa tahun lalu. Karenanya, kalian sebagai anggota Dewan tampaknya masih perlu meningkatkan kualitas individuasi diri. Dan hal ini berpulang pada landasan religius, yang mengajarkan akhak. Atau, Pancasila yang juga menekankan tata-krama, budi-bahasa atau moralitas mulia interaksi antar sesama anak bangsa. Agama dan atau Pancasila tak selayaknya hanya dijadikan asesoris hidupnya.
Penulis: Analis Politik