Menanti Reformasi Polri di Era Presiden Prabowo

Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Abdul Rasyid.

JAKARTA, Mediakarya – Memasuki usianya yang ke-79 tahun, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu institusi yang paling berpengaruh dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia.

Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Abdul Rasyid, mengungkapkan, Polri memiliki peran strategis sebagai penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat, Polri membutuhkan kepercayaan publik, hal itu sebagai fondasi utama stabilitas hukum di Indonesia.

Namun demikian, dalam satu dekade terakhir, kepercayaan itu terus diuji, bahkan mengalami korosi yang mengkhawatirkan. Terutama di era Presiden Joko Widodo.

Meski Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo sekuat tenaga melakukan evaluasi internal di antaranya menggulirkan program PRESISI yang di dalamnya mencakup berbagai aspek, mulai dari transformasi organisasi, operasional, pelayanan publik, hingga pengawasan, namun realitanya program tersebut jauh dari harapan publik.

Di mana program PRESISI itu menekankan prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan sebagai nilai utama dalam kinerja kepolisian.

“Sayangnya, niat baik itu belum diimbangi dengan penguatan integritas moral di tubuh institusi. Yang muncul ke permukaan justru deretan kasus besar yang mengguncang rasa keadilan masyarakat,” ujar Rasyid dalam keterangannya, Senin (30/6/2025).

Kasus Sambo dan Teddy Minahasa, Simbol Krisis Kepemimpinan Polri

Kasus pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo adalah titik nadir yang menggambarkan secara telanjang kebobrokan internal Polri.

“Seorang pejabat tinggi Divisi Propam yang seharusnya menjaga etik justru menjadi dalang pembunuhan yang disertai manipulasi dan rekayasa hukum,” katanya.

Belum selesai masyarakat mencerna kasus tersebut, publik kembali dikejutkan oleh keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam peredaran narkoba jenis sabu, yang ironisnya merupakan barang bukti hasil penegakan hukum.

Tak berhenti sampai di situ, kasus penembakan 5 anggota FPI yang juga anak buah Rizieq Shihab, hingga saat ini masih menimbulkan tanya bagi masyarakat.

“Bahkan, sejumlah kalangan menilai bahwa kasus tersebut diduga penuh dengan unsur rekayasa. Di satu sisi, masyarakat saat ini sudah cerdas, berbagai informasi mudah didapat di media sosial terkait sejumlah peristiwa hukum di tanah air,” kata Rasyid

“Sayangnya Polri tidak kunjung berbenah di tengah perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih ini,” imbuh dia.

Dari sederet kasus ini bukan sekadar pelanggaran etik atau hukum, melainkan simbol dari krisis degradasi moral di lingkungan kepolisian.

Menurut dia, jika para jenderal aktif bisa seberani itu melanggar hukum, apa yang bisa diharapkan dari bawahan mereka? Ini adalah peringatan keras bahwa reformasi Polri belum menyentuh akar permasalahan.

Kekerasan dan Asusila, Wajah Buruk Polri pada Publik

Selain kasus besar yang melibatkan perwira tinggi, kasus-kasus pelanggaran hukum oleh anggota di lapangan juga mencoreng citra Polri, LPKAN juga menyoroti sejumlah peristiwa hukum yang melibatkan anggota Polri.

“Di antaranya adalah penembakan siswa SMK oleh anggota polisi di Semarang Jawa Tengah, penembakan Kabag Ops Polres Solok Selatan yang menewaskan Kasatreskrim Polres Solok Selatan Sumatra Barat, terkait backing tambang emas ilegal,” ujar dia.

Selain itu, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang melibatkan Kapolres Ngada Nusa Tenggara Barat, dan keterlibatan anggota Polri terkait Pungutan Liar (Pungli), Judi Online, Backing Judi Sabung Ayam, penggunaan dan peredaran Narkoba, menambah daftar pajang kasus yang melibatkan anggota Polri.

“Namun semua ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal, serta absennya mekanisme pencegahan dan pembinaan yang efektif,” katanya.

Rasyid juga menyayangkan penyelesaian sejumlah kasus di kepolisian kerap hanya bersifat reaktif.

Bahkan publik melihat bahwa penegakan hukum di internal Polri sering kali baru dilakukan setelah kasus tersebut viral di media sosial atau mendapat tekanan dari masyarakat. Polri tidak boleh menunggu amarah publik untuk bertindak.

HUT Bhayangkara ke-79 Momentum Pembenahan Polri

Dengan dilantiknya Presiden Prabowo Subianto, publik tentu berharap ada arah baru dalam penataan institusi hukum, termasuk Polri.

“Presiden baru harus menyadari bahwa reformasi Polri bukan hanya tugas Kapolri, tetapi juga bagian dari visi besar tata kelola negara yang berkeadilan,” harapnya.

Langkah pertama yang penting adalah memilih Kapolri dengan rekam jejak bersih dan keberanian moral untuk membersihkan institusi. Lebih dari itu, pemerintah perlu membentuk mekanisme pengawasan eksternal yang independen dan kredibel, yang mampu mengawasi kinerja Polri dari luar struktur kepolisian.

Polri Harapan Keadilan yang Tidak Pilih Kasih

Menurut Rasyid, masyarakat tidak menuntut Polri yang sempurna, tetapi Polri yang berani memperbaiki diri dan adil tanpa pandang bulu. Polisi adalah wajah hukum yang pertama kali dilihat masyarakat.

Jika wajah itu dipenuhi dengan penyimpangan, maka legitimasi hukum akan ikut runtuh. Era Presiden Prabowo harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa Indonesia serius membangun negara hukum yang sehat.

Dia menilai sudah waktunya Polri tidak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi benar-benar berfungsi sebagai pengawal penegakan hukum untuk mewujudkan rasa keadilan yang hakiki.

“Berdasarkan pada fakta atas suatu perkara hukum yang sebenar-benarnya, tanpa adanya rekayasa, manipulasi, diskriminasi, dan bahkan intimidasi terhadap para pihak yang berperkara dalam suatu kasus atau peristiwa hukum dengan selalu berpegang teguh pada prinsip kejujuran,” bebernya.

Namun demikian, di Hari Bhayangkara ke 79 tahun ini, LPKAN berharap Polri menjadi garda terdepan dan mampu menjadi tauladan dalam penegakan hukum demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang adil dalam kemakmuran.

“Makmur dalam kesejahteraan di atas supremasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat dan bagi seluruh tumpah darah Indonesia,” pungkasnya. **

Exit mobile version