Menurunkan Bunga Menyalakan Mesin Ekonomi Nasional 

Ilustrasi (Ist)

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) & Agus Rizal (Ekonom Univ MH Thamrin)

Krisis ekonomi itu buatan. Karenanya itu pasti berulang. Tetapi, itu juga menandakan betapa rapuhnya fondasi perekonomian nasional. Krisis ekonomi selalu membuat dunia usaha berhenti bergerak, minimal melambat. Banyak perusahaan kecil, menengah bahkan besar mengalami stagnasi atau menghentikan operasi akibat tekanan biaya, keterbatasan likuiditas dan lemahnya permintaan.

Kondisi ini menciptakan efek domino terhadap lapangan kerja, daya beli, dan stabilitas sosial. Ketika dunia usaha kehilangan daya geraknya, seluruh aktivitas ekonomi ikut membeku. Inilah saat di mana negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai motor penggerak yang memulihkan kepercayaan pasar melalui kebijakan yang nyata, cepat, dan terukur sebagaimana diamanatkan dalam Rancangan Undang-undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUUPNKS).

Kebijakan strategis pertama yang perlu dilakukan adalah penyediaan modal kerja dengan tingkat bunga wajar, terjangkau. Dalam konteks dunia usaha, modal kerja bukan sekadar dana operasional, melainkan oksigen yang menentukan keberlangsungan hidup sektor produksi.

Tingkat bunga yang tinggi membuat pelaku usaha enggan mengambil risiko investasi karena beban finansial menjadi terlalu berat. Akibatnya, kapasitas produksi menurun, penyerapan tenaga kerja berkurang, dan kegiatan ekonomi melambat. Di sini, penurunan suku bunga perbankan menjadi langkah vital untuk menghidupkan kembali arus modal dan mengaktifkan kegiatan ekonomi yang sempat lumpuh.

Namun, kebijakan penurunan bunga tidak dapat dilakukan secara serampangan. Diperlukan perhitungan makroekonomi yang cermat agar tidak menimbulkan lonjakan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar. Pengendalian inflasi dan nilai mata uang adalah dua sisi mata uang dari kebijakan moneter yang efektif. Karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus berkoordinasi secara erat agar ekspansi kredit yang lebih murah tidak berujung pada pelarian dana ke valuta asing.

Dalam kerangka ini, kebijakan moneter bukan hanya menjaga keseimbangan angka, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap nilai rupiah dan stabilitas sistem keuangan nasional. Stabilisasi nilai tukar, bahkan dengan kurs tetap—menjadi realistis dan waras. Bunga rendah dan terjangkau menjadi keniscayaan karena pro warga-negara dan dunia usaha, bisnis dan sektor lainnya.

Dus, dnia usaha yang sehat bergantung pada iklim pembiayaan yang produktif dan berkeadilan. Ketika bank lebih banyak menyalurkan kredit konsumtif dibandingkan produktif, maka kegiatan ekonomi kehilangan daya ungkitnya. Arah pembiayaan harus dikembalikan kepada sektor yang menciptakan nilai tambah seperti industri manufaktur, pertanian modern, energi terbarukan, dan usaha kecil menengah. Di titik inilah fungsi negara sebagai pengarah ekonomi menjadi sangat penting, memastikan agar kebijakan moneter dan fiskal berjalan seirama dalam mendorong tumbuhnya pelaku usaha produktif di seluruh wilayah Indonesia.

Orientasi kebijakan pembiayaan perlu difokuskan pada sektor yang berorientasi ekspor dan substitusi impor. Peningkatan penerimaan devisa menjadi kunci untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Negara harus menyiapkan instrumen kredit ekspor, penjaminan risiko, dan dukungan logistik agar pelaku usaha dapat bersaing di pasar global.

Dengan demikian, penurunan bunga tidak berhenti pada angka, tetapi menjadi bagian dari strategi besar pemulihan ekonomi berbasis produksi dan perdagangan berkeadilan. Dunia usaha yang bergerak akan menciptakan arus balik keuangan yang sehat, memperluas kesempatan kerja, dan mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.

Pemulihan dunia usaha juga membutuhkan kepastian hukum dan regulasi yang bersahabat. Selama birokrasi masih berbelit, izin usaha berlapis, dan koordinasi antar lembaga lemah, maka penurunan bunga tidak akan efektif. Pemerintah perlu memastikan seluruh regulasi ekonomi sejalan dengan semangat ekonomi nasional yang menempatkan kesejahteraan warga negara sebagai tujuan utama, bukan sekadar mengejar pertumbuhan statistik.

Stabilitas ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kepastian hukum yang memberikan rasa aman kepada pelaku usaha domestik untuk berinvestasi, berinovasi, dan memperluas pasar. Pada akhirnya, kebijakan dunia usaha yang berpihak kepada produktivitas nasional akan menjadi fondasi bagi kebangkitan ekonomi Indonesia.

Krisis adalah peringatan, tetapi juga peluang untuk menata ulang arah kebijakan ekonomi agar lebih berdaulat dan mandiri. Rancangan Undang-undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial hadir sebagai kerangka hukum yang menegaskan keberpihakan negara pada dunia usaha yang produktif dan berkeadilan.

Maka, menurunkan bunga hanyalah pintu masuk menuju sistem ekonomi yang sehat, di mana dunia usaha menjadi tulang punggung kesejahteraan warga negara. Ketika modal kerja mengalir dengan wajar, kepercayaan kembali tumbuh, dan produksi kembali berputar, maka mesin ekonomi nasional akan menyala kembali bukan karena tekanan pasar, tetapi karena keberanian negara menegakkan kedaulatan ekonominya sendiri.

Dengan hadirnya Rancangan Undang-undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, dunia usaha Indonesia akan tumbuh lebih kuat, mandiri, dan berdaulat di tanahnya sendiri. Regulasi ini bukan hanya instrumen hukum, tetapi manifesto kebangkitan ekonomi nasional yang berakar pada keadilan dan kesejahteraan bersama.

Mari dukung dan realisasikan lahirnya Undang-undang Perekonomian Nasional demi kemartabatan bangsa, agar Indonesia tidak sekadar bangkit, tetapi juga menjadi bangsa yang makmur, berdaulat, kaya bersama, dan bahagia semua.

Exit mobile version