Pajak dan Ironi Negeri: Di Manakah Nurani?

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Wahid

Belum terhapus duka-lara masyarakat, bahkan terasa sulit “bernafas” karena begitu kuatnya cekikan. Itulah penggencetan nilai pajak PPn yang naik menjadi 12% sejak Januari 2025 untuk barang dan jasa (Pasal 7 Ayat 1 UU Harmonisasi Perpajakan). Rakyat makin tercekik sejalan dengan pemberlakuan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) naik begitu “menggila” bagi kebanyakan daerah.

Bagaimana tidak? Kenaikan presentasinya tidak hanya kisaran 100% tapi sampai 250% seperti yang terjadi Kabupaten Pati. Atau, Cirebon 1.000% dan Jombang 1.200%. Dan meski bervariasi tapi daerah berbondong-bondong menaikkan prosentasi pajaknya. Memang, ada daerah seperti Kabupaten Karimun (Riau) yang membebaskan PBB P2, meski ada kriteria tertentu seperti yang berlaku di DKI Jakarta.

Provinsi Jawa Barat juga membebaskan PBB P2, terutama tunggakan setahun silam. Tapi, apakah seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat akan menerapkan pembebasan PBB? Belum tentu. Kabupaten Purwakarta sejalan dengan kebijakan Provinsi Jabar. Tapi, tak lepas dari posisi Bupati Purwakarta yang memang putera Gubernur Jabar itu. Tak aneh.

Yang perlu kita garis-bawahi, kenaikan pajak yang diambil Pemerintah Daerah tak akan terhenti pada sektor PBB P2. Dengan atau atas nama “sinyal” positif dari Pusat, Daerah akan lebih “ganas” lagi penerapan pajaknya. Belum lama ini, terdengar kabar burung akan diterapkannya pajak penyelenggaraan resepsi pernikahan. Tampaknya, Pemda bahkan Pemprov. akan terdorong “kreativitasnya” untuk mencari obyek pajak. Untuk menaikkan penerimaan pajak. Sesuai target yang ditentukan Pusat.

Seperti kita ketahui, besaran RAPBN 2026 mencapai Rp 3.786,5 triliun, naik 7,3% dari mata anggaran setahun lalu (Rp 3.527,5 triliun). Sementara, target pajak ditentukan sebesar Rp 2.357,71 triliun atau naik 13,5% dari tahun lalu. Penerimaan negara dari bea cukai sebesar Rp 334,3 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 455 triliun. Dan yang cukup membengongkan, penerimaan negara dari sektor migas hanya ditarget sebesar Rp 113,06 triliun.

Muncul pertanyaan mendasar, mengapa target pajak demikian besar dan dijadikan andalan utama penerimaan negara? Jawabnya, itulah sektor yang paling mudah ditarget. Sangat empuk dibidik. Dan, rakyat tak punya opsi lain kecuali harus tunduk pada aturan negara. Yang membangkang akan diperhadapkan ketentuan pidana.

Jawaban tersebut menggambarkan kemalasan penyelenggara negara dalam mencari sumber-sember penerimaan lainnya yang sesungguhnya jauh lebih besar nilainya di negeri ini. Sisi lain, sikap malasnya menunjukkan ketidakmanusiaannya terhadap rakyatnya. Karena, di balik kebijakan penggenjotan sektor pajak sesungguhnya mendzalimi rakyat.

Bagaimana tidak? Negara tentu tahu persis. Rakyat masih diperhadapkan panorama kemiskinan yang sangat besar dan meluas (sekitar 63% menurut catatan mutakhir Bank Dunia). Di tengah kemiskinannya, rakyat selaku wajib pajak tentu dibayang-bayangi pidana jika tak menuruti (membayar pajak).

Dalam perspektif Islam, jika mengacu pada Sunnah Rasul, maka wajib hukumnya bagi rakyat untuk membayar pajak. Namun, hal ini sangat tergantung dari tiga kondisi. Pertama, jika penerimaan pajak memang dipergunakan negara untuk kepentingan umum (rakyat), dalam kaitan pembangunan fisik, mental dan lainnya, termasuk pengentasan kemiskinan, kesehatan dan pendidikan.

Berarti, terdapat kata kunci: amanah, yang tak bisa ditawar-tawar. Dan untuk membuktikan keamanahannya, maka diperlukan tranparansi dan akuntabilitas tata-kelola pajak. Kedua, pajak wajib hukumnya jika tidak membebani rakyat. Dan ketiga, pendistribusian pajak haruslah adil dan proporsional.

Mendasarkan ketiga prasyarat pajak yang harus ditaati rakyat itu, maka – dalam konteks negeri ini – sesungguhnya rakyat saat ini harus dibebaskan dari kewajiban pajak. Landasannya, bukankah penerimaan pajak cukup besar nilainya yang menguap? Ini bukan cerita burung.

CNBC Indonesia mencatat, secara rinci mencatat, nilai pajak yang tak sampai sebagai penerimaan negara sebesar Rp 234,1 triliun (2017), Rp 266,1 triliun (2018), Rp 272,1 triliun (2019). Itu belum termasuk pajak yang dikorupsi. Seperti kita ketahui bersama, korupsi di Pertamina tercatat sekitar Rp 1.000 triliun. PT Timah sebesar Rp 271 triliun. Tindakan illegal export of nickel mencapai 5.000 ton. Dan masih banyak sektor yang jadi bancakan secara ilegal. Berapa total kerugian negara dan kontraksi pajak akibat dikorupsi dan penyalahgunaan wewenang secara sengaja? Jika seluruh sektor penerimaan pajak dikalkulasi secara transparan, kita akan jumpai total pajak yang menguap dengan nilai sangat fantastik.

Sekali lagi, dari sisi tata-kelola pajak, sebenarnya rakyat tak sepantasnya dikenakan bayar pajak. Karenanya, gugur hukumnya bagi rakyat jika tak menunaikan kewajibannya sebagai pembayar pajak. Dan semakin kuat landasan hukumnya jika rakyat menolak membayar pajak dengan argumentasi tidak adanya keadilan dalam distribusi pajak yang berkeadilan.

Perlu negara sadari, beberapa waktu lalu, salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau berteriak “mau memisahkan diri” karena redistribusi bagi-hasil Pusat ke daerahnya sangat tidak seimbang dibanding kontribusinya. Dan jika kita tengok pemberontakan Tanah Papua, juga terlihat masalah ketidakadilan distribusi Pusat ke daerahnya dalam bentuk ketidakmerataan pembangunan fisiknya.

Ketiga hal tersebut di atas sudah cukup alasan bagi rakyat untuk tidak taat pajak. Namun, landasan teologis ini – sejalan dengan negeri ini bukanlah negara Islam – tentu akan dihadapi dengan palu godam, meski dengan pendekatan hukum. Atas nama dan kepentingan rakyat yang berkeadilan dan berkemanusiaan, para wajib pajak haruslah didampingi oleh para ahli pajak yang kompeten dan berintegritas.

Agar di satu sisi dapat memahamkan para aparatur pajak yang a priori dan tak kenal kompromi dan “nakal”. Juga, agar negara menyadari bahwa sumber penerimaan negara ada yang jauh lebih besar dan potensial seperti migas dan sektor pertambangan lainnya (batubara, nikel, bauxite, uranium, titanium, dll). Itulah kekayaan di perut bumi dan di atasnya (perkebunan dan kehutanan). Belum lagi kekayaan dari wilayah kelautan dan dirgantara. Semua itu sulit dihitung. Karena demikian besarnya nilai kekayaannya.

Memang, seluruh kekayaan negara diperlukan effort besar agar bernilai tinggi secara komersial. Justru, inilah tugas negara, sekaligus tantangannya. Selain effort, juga diperlukan sikap amanah: mengelola dengan penuh integritas dan dedikasi.

Ketika dua hal itu diabaikan, maka ada dua implikasi yang terjadi. Yaitu – pertama – berdatangan pihak asing untuk menguasai bahkan menjajahnya. Dan inilah yang telah terjadi. Dan sekian abad, negeri ini dijadikan perahan. Kedua, digarong oleh para pihak yang berdasi, dalam bentuk langsung, yakni persekongkolan untuk mengeksploitasi kekayaan negara dan memperkaya diri (korupsi). Atau, bentuk lain, seperti gaji super tinggi yang dilegalisasi negara.

Seperti kita saksikan bersama, sejumlah pejabat tinggi negara yang ada di berbagai instansi pemerintahan, BUMN, BUMD, bahkan lembaga legislatif, mereka pesta-pora dengan gaji dan sejumlah tunjangannya. Mereka tak peduli dengan tugas dan tanggung jawabnya berat. Yang dilihat adalah renumerasi yang super wow. Hasil kinerjanya minim. Tidak sesuai ekspektasi rakyat yang memberikan mandat. Indikatornya sederhana: penerimaan sektor non pajak relatif sangat minim.

Sebuah renungan yang sulit dicerna secara rasional, apakah kepala pemerintahan tak mampu melihat realitas minimnya penerimaan negara dari seluruh sektor? Dan tak mampukah kinerja minim mereka? Lalu, mengapa harus melegalisasi penaikan gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya? Benar-benar ironis negeri ini.

Persoalannya tidak terhenti pada catatan ironi. Di tengah panorama mayoritas rakyat yang miskin-papa, atau kesulitan rakyat yang terus mendera, mengapa negara – melalui para petinggi negara dari berbagai instansi, termasuk Yang Terhormat para anggota dan pimpinan Dewan – kok tega-teganya berjoged-ria ketika mendengar pengumuman kenaikan gaji itu. Masih kurangkah dengan yang diterima selama ini?

Di manakah nurani kalian? Sudah matikah daya empati kalian? Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun. Naif. Kian naif ketika di antara anggota Dewan justru ngajarin, “Rakyat, janganlah suka nyinyir…”. Sebuah respon yang mempertebal predikat: di antara anggota Dewan Yang Terhormat memang telah habis nuraninya. Tak sepantasnya menjadi wakil rakyat.

Penulis: Analis Politik Dan Pembangunan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *