JAKARTA, Mediakarya – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, pada sidang pleno, Kamis 13 November 2025 menjadi titik balik penting dalam relasi antara Kepolisian Negara RI (Polri) dan birokrasi sipil.
Setelah bertahun-tahun muncul praktik penempatan anggota Polri aktif sebagai pejabat publik; mulai dari kementerian, lembaga negara, hingga penjabat kepala daerah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akhirnya menegaskan satu hal yang sangat jelas: “Polisi aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun apabila ingin menduduki jabatan sipil.”
Sekjen Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Abdul Rasyid, mengungkapkan bahwa UUD 1945 memberi Polri mandat sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban.
“Di mana dalam aturan itu tidak ada mandat eksplisit untuk menjalankan fungsi pemerintahan sipil. Artinya, penempatan polisi di jabatan publik harus dipahami sebagai penugasan khusus, bukan fungsi utama,” ungkap Rasyid seperti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Ahad (23/11/2025).
Di sisi lain, lanjut Rasyid, ASN didesain sebagai penggerak birokrasi yang netral, profesional, dan tidak terikat agenda institusi lain. Ketika dua mandat ini bertemu di satu meja, potensi gesekan tak bisa dihindari.
“Putusan ini membatalkan frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang selama ini membuka celah “penugasan Kapolri”. Celah itu memungkinkan polisi aktif tetap menjabat posisi sipil tanpa melepas status keanggotaannya,” jelasnya.
‘Praktik tersebut bukan hanya menimbulkan perdebatan politik, tetapi juga menabrak prinsip dasar tata negara: netralitas aparatur, pembagian fungsi negara, dan kepastian hukum,” imbuh Rasyid.
Rasyid mengungkapkan, bahwa putusan MK mempertegas batas, dan meperjelas kewenangan: Pertama, putusan MK memulihkan kepastian hukum. Selama bertahun-tahun, norma dalam penjelasan UU Polri dibiarkan multitafsir. Di satu sisi, undang-undangnya mewajibkan pengunduran diri.
Di sisi lain, penjelasannya justru memberi pengecualian. “Inilah yang dibatalkan MK karena dianggap menciptakan ketidakpastian yang berpotensi merugikan warga negara dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan,” ujar mantan Aktivus 98 ini.
Kedua,, putusan MK menjaga netralitas dan profesionalisme. Polri adalah institusi penegak hukum dengan kewenangan koersif negara.
“Sebab menempatkan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil berpotensi memunculkan konflik kepentingan, terutama jika jabatan itu berkaitan dengan pengambilan keputusan politik atau pengelolaan anggaran. MK ingin memastikan bahwa kekuatan koersif negara tidak masuk ke ranah administratif tanpa batas,” ungkapnya.
Ketiga, putusan MK memperkuat pemisahan fungsi. Konstitusi membedakan antara lembaga keamanan dan lembaga pemerintahan sipil.
“Ketika peran itu tumpang tindih, risiko dominasi lembaga keamanan dalam manajemen pemerintahan sangat besar. Putusan MK ini mengembalikan batas-batas itu secara tegas,” ujar Rasyid.
Polisi Aktif Tidak Boleh Menjabat Jabatan Sipil
Rasyid menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi jelas dan tegas Anggota Polisi aktif tidak boleh menjabat jabatan sipil, kecuali mereka mundur atau pensiun terlebih dahulu dari anggota kepolisian.
“Tidak ada lagi mekanisme ‘penugasan Kapolri’ yang selama ini dijadikan legal basis alternatif. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan berlaku sejak dibacakan,” tutur Rasyid.
Dengan demikian, lanjut dia, jika ada polisi aktif yang tetap menduduki jabatan sipil setelah putusan MK, maka: norma yang melandasi pengangkatannya menjadi tidak sah. Kemudian keputusan administrasi yang mengangkatnya berpotensi cacat hukum.
“Jika ada anggota Polri masih menduduki jabatan sipil, maka dimungkinkan ada kerugian keuangan negara karena gaji dan fasilitas yang diterima tidak didasarkan pada dasar hukum yang benar.
Rasyid menilai jika anggota Polri menduduki jabatan sipil maka ada potensi konflik kepentingan meningkat, terutama pada jabatan strategis seperti penjabat kepala daerah atau posisi pengambil keputusan anggaran.
“Jadi, jika ada anggota Polisi aktif yang tetap menduduki jabatan sipil atau jabatan publik setelah putusan MK, maka merupakan pelanggaran bukan hanya masalah teknis administratif, tetapi menyentuh ranah konstitusional,” tegas Rasyid.
Bagaimana dengan Jabatan yang Sudah Terlanjur Diisi Polisi Aktif
Inilah yang menjadi tantangan tersendiri. Putusan MK sendiri tidak mengatur masa transisi secara eksplisit. Tetapi banyak pakar menilai, setelah putusan dibacakan, status normanya langsung berlaku. Artinya, pemerintah perlu bergerak cepat sambil tetap memperhatikan stabilitas birokrasi.
Langkah paling masuk akal adalah :




