Politik Ekonomi RI: Rakyat Jadi Korban  Kapitalisme dan Neoliberalisme

Sekjen Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Abdul Rasyid.

Oleh  Abdul Rasyid

Politik ekonomi Indonesia tidak pernah lepas dari perdebatan ideologi, sejak awal kemerdekaan, arah kebijakan ekonomi selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik, kepentingan elit, dan dinamika global.

Kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan dinamika ideologis yang sangat erat kaitannya dengan perubahan politik dan ekonomi. Menteri Keuangan sebagai aktor teknokrat memegang peranan strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi sekaligus merespons kebutuhan sosial politik rakyat.

Periode kepemimpinan Ali Wardhana pada era Orde Baru, Bambang Sudibyo pada awal Reformasi, dan Sri Mulyani Indrawati pada era Reformasi kontemporer, mencerminkan pergeseran orientasi fiskal: dari kapitalisme negara-pembangunanisme, ke populisme kerakyatan, hingga neoliberalisme teknokratis saat ini, merupakan perjalanan Politik Ekonomi Indonesia mengalami transformasi ideologi yang dinamis sekaligus penuh kontradiksi.

Kapitalisme Negara Era Orde Baru

Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi dijalankan dengan model kapitalisme negara. Negara menjadi aktor utama dalam mengendalikan sumber daya strategis, namun pada saat yang sama membuka pintu bagi konglomerasi swasta yang dekat dengan kekuasaan.

Ali Wardhana, Menteri Keuangan 1973 – 1983 berperan sebagai arsitek fiskal Orde Baru yang menopang legitimasi politik otoritarian Soeharto. Sumber utama penerimaan negara adalah minyak bumi dan bantuan luar negeri dari IGGI/CGI. Kebijakan fiskalnya menekankan disiplin anggaran dan stabilitas makro, tetapi tetap mempertahankan subsidi besar pada energi dan pangan untuk menjaga stabilitas harga.

Ideologinya dapat dikategorikan sebagai kapitalisme negara-pembangunanisme : Negara menjadi aktor dominan dalam mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur, Revolusi Hijau, dan industrialisasi awal.

Dampak sistem kapitalisme negara, menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi 7 – 8% per tahun (era 1980 – 1990-an), tetapi juga menumbuhkan praktik oligarki dan ketergantungan pada hutang luar negeri. Stabilitas politik dijaga ketat melalui kontrol represif, sementara distribusi kekayaan terjadi ketimpangan sosial makin tajam.

Populisme Fiskal Era Reformasi

Reformasi 1998 membawa semangat demokratisasi yang membuka ruang bagi “populisme fiskal”. Pemerintah mulai menerapkan kebijakan subsidi luas (BBM, listrik, pupuk), program bantuan sosial, dan redistribusi untuk merespons tuntutan rakyat yang lama ditekan.

Bambang Sudibyo, Menteri Keuangan 2004 – 2005, menghadapi tantangan APBN yang rapuh akibat krisis 1997/1998, ia tidak langsung melakukan disiplin fiskal, tetapi memilih mempertahankan subsidi energi untuk menjaga harga murah dan mencegah gejolak sosial-politik.

Langkah ini menunjukkan kecenderungan populis-kerakyatan, di mana legitimasi pemerintah baru lebih diutamakan ketimbang konsistensi anggaran.

Meski membantu rakyat dalam jangka pendek, kebijakan ini dinilai tidak efisien : subsidi lebih banyak dinikmati kelas menengah-atas (pemilik mobil pribadi), sementara APBN semakin terbebani.

Orientasi ideologi Bambang dapat diposisikan sebagai ekonomi populis : pro rakyat dalam retorika harga murah, tetapi rapuh dalam fondasi fiskal.

Populisme fiskal ini memberi legitimasi politik, namun seringkali tidak berkelanjutan karena bertabrakan dengan keterbatasan fiskal negara. Ketika harga minyak naik atau krisis global menghantam, kebijakan populis ini menimbulkan beban anggaran besar dan menekan stabilitas ekonomi.

Neoliberalisme Teknokratis

Ketika Sri Mulyani, Menteri Keuangan 2005 – 2010 ; menggantikan Bambang Sudibyo, dan menjabat lagi pada 2016 sampai dengan awal September 2025, melakukan perubahan signifikan.

Subsidi energi dipangkas secara bertahap, dan dana dialihkan ke program sosial seperti BLT, PKH, pendidikan, dan kesehatan.

Sri Mulyani juga memperkuat penerimaan pajak, membatasi defisit ≤3% PDB, serta mengandalkan instrumen pasar (obligasi negara, rating utang) untuk memperkuat kredibilitas fiskal.

Ideologinya mencerminkan neoliberalisme teknokratis : disiplin fiskal, keterbukaan terhadap pasar global, transparansi, serta integrasi dengan standar internasional (World Bank, IMF). Perlindungan sosial diberikan, tetapi bersifat kompensatoris, bukan struktural. Dengan kata lain, rakyat tidak lagi “dilindungi lewat harga murah”, melainkan diberi jaring pengaman sosial ketika harga pasar naik.

Di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan seperti Sri Mulyani, arah politik ekonomi Indonesia semakin kental dengan nuansa neoliberalisme teknokratis. Karakter utamanya:

  1. Disiplin fiskal ketat melalui defisit anggaran rendah.
  2.  Privatisasi dan deregulasi sektor strategis dengan alasan efisiensi.
  3. Peran teknokrat yang lebih dominan ketimbang politisi dalam perumusan kebijakan.
  4. Integrasi ke pasar global melalui investasi asing, liberalisasi perdagangan, dan reformasi birokrasi.

Neoliberalisme teknokratis ini menjaga stabilitas makroekonomi dan meningkatkan kepercayaan investor internasional, tetapi sering dikritik karena kurang berpihak pada rakyat kecil. Subsidi dipangkas, sementara infrastruktur dan stabilitas fiskal lebih diutamakan.

Ketimpangan Sosial

Exit mobile version