KABUPATEN BEKASI, Mediakarya – Dua dekade beroperasi, PDAM Tirta Bhagasasi Kabupaten Bekasi masih dihadapkan pada persoalan yang hampir serupa dari tahun ke tahun. Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengungkapkan bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK selama 20 tahun mencatat temuan yang berulang terkait tata kelola, aset, hingga keuangan perusahaan daerah tersebut.
“Ada hal yang aneh kalau kita bicara air di Kabupaten Bekasi. Sungai besar ada, danau ada, industri raksasa bertaburan, infrastruktur menggunung. Tapi PDAM Tirta Bhagasasi? Dua puluh tahun, masalahnya tetap sama, yakni air tidak mengalir, laporan keuangan tidak jernih, governance keruh, dan asetnya seperti kapal tanpa kompas,” ujar Iskandar, kepada Mediakarya, Rabu (26/11/2025).
Menurut Iskandar, di meja auditor nama “Tirta Bhagasasi” selalu datang dengan dua kata pengantar: “multi-year problem” dan “governance disorder”.
Setiap tahun, LHP BPK mencatat temuan yang sama: piutang tidak tertagih; aset tidak jelas; dana cadangan nihil; perjanjian kerjasama membingungkan; penetapan tarif politis; injeksi penyertaan modal tidak terukur output-nya dan SOP tidak berjalan. Rekening giro dan kas setara air, menurut Iskandar, ada di laporan tetapi tidak terasa di masyarakat.
“Ini bukan dongeng. Ini adalah rekap 20 tahun LHP BPK, sebuah riwayat kronik satu perusahaan daerah yang seharusnya menjadi jantung layanan publik, tetapi justru berlari di tempat,” kata Iskandar.
Kronologi 20 Tahun: Air Mengalir, Tapi Masalah Mengendap
Iskandar memaparkan kronologi permasalahan PDAM Tirta Bhagasasi berdasarkan rekap LHP BPK selama dua dekade:
Tahun 2004–2009: Periode Aset Tanpa Peta
Awal 2000-an, PDAM “hidup seadanya”. BPK mulai menuliskan masalah klasik: inventaris barang milik daerah tidak lengkap. Pemisahan aset Pemkot–Pemkab tidak selesai. Banyak jaringan distribusi tidak teridentifikasi.
“Catatan IAW: bila aset tidak jelas, bagaimana menghitung penyusutan? Bila penyusutan tidak jelas, bagaimana menghitung tarif? Bila tarif tidak realistis, PDAM hampir pasti merugi. Itulah akar masalah struktural Tirta Bhagasasi,” jelas Iskandar.
Tahun 2010–2015: Masa Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang Buram
Ini periode paling “rawan” menurut Iskandar. BPK mencatat berulang bahwa:
- Perjanjian PKS antara Pemkab–Pemkot Bekasi multitafsir;
- Pembagian keuntungan tidak transparan;
- Aset yang dikuasai masing-masing pihak tidak pernah disinkronkan.
“Ini adalah masalah governance yang menjadi bibit konflik struktural puluhan tahun. Dan harus diakui bahwa setiap PKS yang multitafsir di Indonesia biasanya punya dua risiko: pertama, audit finding. Kedua, tipikor finding,” ungkap Iskandar.
Tahun 2016–2020: Revenue Tidak Ideal, Piutang Menggunung
BPK mencatat: piutang pelanggan tidak ditagih tepat waktu; banyak rekening “macet” tanpa strategi penagihan. Kebocoran air (NRW) tinggi, 30–40%. Belanja modal tidak sebanding dengan peningkatan sambungan rumah.
“Terjemahan IAW: setiap Rp 100 yang mengalir, hanya Rp 60 yang menjadi pendapatan. Sisanya hilang entah ke mana, sebagian teknis, sebagian non-teknis, sebagian ya sudahlah,” terang Iskandar.
Tahun 2021–2024: Era Corporate Action Tanpa Dukungan Keuangan
Beberapa fakta BPK dan temuan valid paling krusial menurut Iskandar: tidak ada dana cadangan 2023–2024; posisi kas menipis, sementara utang dividen masih membayangi. Penyertaan modal tidak menunjukkan return yang memadai. Penetapan RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) tidak realistis dan SOP pengelolaan aset tidak berjalan.
“Di titik ini, Tirta Bhagasasi memasuki fase yang dalam audit disebut ‘financial stress area’, ini kondisi perusahaan masih hidup, tetapi struktur keuangannya rapuh,” kata Iskandar.
Masalah Laten: BPK Sudah Bilang, Tapi Tidak Diperbaiki
Dari rekapan audit dua dekade, Iskandar memetakan 6 masalah laten utama:
1. Aset Tak Teridentifikasi, Ini Sumber Chaos Utama
BPK hampir setiap tahun menulis: Bemper aset tidak lengkap; Pencatatan tidak baku; Aset Pemkot–Pemkab saling klaim;
Nilai buku tidak sesuai fisik.
Konsekensi tindak pidana korupsi menurut Iskandar: potensi penyalahgunaan aset (pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan kewenangan). Juga potensi mark-up belanja modal karena pembanding aset tidak valid.
2. Kerugian Air (NRW) Bergelayut Seperti Utang Turun-Temurun
“Non revenue water. Air yang diproduksi tapi tidak menghasilkan pendapatan karena hilang di perjalanan baik secara teknis maupun non-teknis di atas 30% = warning lamp merah. BPK menyebutnya inefisiensi serius,” jelas Iskandar.
Konsekuensi tipikor menurut Iskandar: bila kebocoran air disebabkan pencurian atau pembiaran maka masuk area pasal 2 dan 3 UU Tipikor karena: memperkaya pihak tertentu dan merugikan keuangan daerah.
3. Piutang Menggunung, Tidak Ada Strategi Tagih
Ini disebut BPK disetiap periode. Iskandar mengungkapkan, di banyak PDAM, piutang adalah “tempat sembunyi korupsi paling rapi”.
Modus umum menurutnya adalah: piutang yang “macet” bertahun-tahun dihapus tanpa klarifikasi. Ada piutang fiktif yang dibuat agar ada ruang penyelewengan. Piutang pelanggan industri “diatur” oleh oknum petugas. “Kalau Kejaksaan mau menyelidiki, mulai dari sini,” saran Iskandar.
4. Pendapatan Tidak Optimal dan Tarif Politis
Tarif air sering jadi alat politik. Kenaikan ditahan sehingga PDAM merugi, pelanggan kecewa dan pelayanan stagnan. Tapi dalam laporan BPK disebut: tarif tidak sesuai biaya pokok. Akibatnya defisit struktural terus terjadi.
“Ini tipikal pola korupsi politik–birokrasi: ‘tahan tarif, tapi buka pintu ke kontraktor.’ BPK tidak menuliskan secara gamblang, tetapi pola ini sangat umum,” ungkap Iskandar.
5. Belanja Modal Meningkat
BPK menyebut: banyak jaringan dibangun, tapi sambungan rumah tidak naik signifikan. Malah ada investasi yang tidak menambah kapasitas produksi.
“Dalam bahasa audit: ‘inefisiensi belanja modal’. Dalam bahasa tipikor: ‘indikasi mark-up atau belanja tidak sesuai kebutuhan riil’,” tegas Iskandar.
6. Dana Cadangan Nol, Riwayat Keuangan Tekanan Tinggi
BPK selalu menyoroti lemahnya cadangan. PDAM dengan cadangan nol, kata Iskandar, berarti: keuangan rawan kolaps; layanan publik terancam dan membuka ruang rent seeking untuk bailout/PMD darurat.
Dugaan Tipikor Dilakukan Secara Sistemik
Iskandar menjelaskan, “Kita masuk ke area yang paling penting: bagaimana Kejaksaan bisa menyidik? Dan pasal mana saja yang relevan?”




