Presiden Prabowo Rehabilitasi Terdakwa Korupsi ASDP: Momentum Reformasi Pemberantasan Tipikor dan Penegakan Hukum Berkeadilan

  1. Potensi keuntungan yang tidak tercapai,
  2. Nilai aset yang diproyeksikan,
  3. Asumsi pasar yang spekulatif, atau
  4. Kerugian yang bersifat administratif,
    maka tuntutan tidak memenuhi standar hukum pidana.

Dalam situasi seperti itu, persoalan lebih tepat masuk ke ranah administratif atau perdata korporasi, bukan tindak pidana korupsi.

Dari urain diatas, rehabilitasi Presiden dapat dibaca dan pahami sebagai koreksi moral atas potensi salah klasifikasi perkara. Namun koreksi moral tanpa koreksi sistemik tidak menyelesaikan persoalan, justru menimbulkan pertanyaan baru : apakah para penegak hukum bekerja berdasarkan standar hukum yang benar ?

3. Putusan Pengadilan : Sah Secara Formal, Dipertanyakan Secara Moral

Tidak ada lembaga negara yang dapat membatalkan putusan pengadilan kecuali lembaga peradilan itu sendiri melalui mekanisme luar biasa seperti PK.

Dalam kasus perkara ini, rehabilitasi Presiden tidak mengubah status hukum ketiga terdakwa. Vonis dan keputusan pengadilan tetap sah. namun persoalan bukan berhenti pada legalitas formal.

Secara ketatanegaraan, ketika Presiden memulihkan nama baik seseorang yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi, dua implikasi muncul :

Pertama, otoritas moral putusan peradilan tergerus. Publik menafsirkan bahwa logika putusan tidak sepenuhnya didukung cabang kekuasaan lain. Dalam kasus ASDP, terlibatnya DPR RI dalam memberikan pertimbangan memperkuat persepsi tersebut.

Kedua, muncul pertanyaan mengenai kualitas pembuktian. Jika Presiden sampai harus “memulihkan nama baik” terpidana, apakah itu berarti proses pembuktian, khususnya penghitungan kerugian negara, tidak memenuhi standar yang seharusnya? Untuk menjaga wibawa hukum, pertanyaan ini tidak boleh dihindari.

4. Apakah Jaksa dan Hakim Perlu Diperiksa

Pertanyaan ini sensitif dan sering disalahpahami sebagai bentuk intervensi kekuasaan lain terhadap yudikatif. Padahal dalam negara hukum demokratis, akuntabilitas adalah prasyarat independensi.

4.1 Pemeriksaan terhadap Jaksa : Saatnya JAMWAS Bergerak

Jaksa dapat diperiksa jika terdapat dugaan:

  1. Penyimpangan metodologi penghitungan kerugian negara,
  2. Penggunaan pasal yang tidak tepat atau overcharging,
  3. Kesalahan mendasar dalam mengidentifikasi unsur “memperkaya diri sendiri”,
  4. Pengabaian bukti meringankan (decharge),
    5. Kriminalisasi kebijakan manajerial yang tidak memenuhi unsur pidana.

Apalagi apabila DPR RI melakukan kajian mendalam sebelum memberi pertimbangan kepada Presiden, hal ini merupakan indikasi bahwa terdapat aspek substantif yang perlu diperiksa.

4.2 Pemeriksaan terhadap Hakim : Ranah Komisi Yudisial

Hakim dapat diperiksa oleh Komisi Yudisial apabila ada indikasi:

  1. Pelanggaran etik,
  2. Konflik kepentingan,
  3. Ketidakcakapan dalam menilai bukti,
  4. Atau tekanan eksternal.

Pemeriksaan tidak boleh dilakukan hanya karena putusan menimbulkan kontroversi, tapi diperlukan dasar yang objektif dan terukur.

4.3 Pemeriksaan adalah mekanisme safeguard, bukan kriminalisasi balik

Pemeriksaan terhadap aparat penegak hukum bukan tindakan balas dendam politik atau delegitimasi peradilan.

Pemeriksaan adalah mekanisme yang wajar untuk memastikan :

Exit mobile version