Presiden Prabowo Rehabilitasi Terdakwa Korupsi ASDP: Momentum Reformasi Pemberantasan Tipikor dan Penegakan Hukum Berkeadilan

Oleh : Abdul Rasyid

Keputusan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi mantan Direktur Utama PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) Indonesia Ferry (Persero), bersama dua mantan direksi ; Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Wicaksono yang turut dijerat dalam perkara dugaan korupsi, bukanlah sekadar tindakan administratif biasa. Sebaliknya, keputusan rehabilitasi tersebut menjadi titik perdebatan publik tentang relasi kekuasaan negara, validitas metodologi penghitungan kerugian negara, serta konsistensi penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan badan usaha milik negara (BUMN).

Ketika angka kerugian negara yang diklaim mencapai Rp 1,25 triliun, vonis penjara dijatuhkan selama 4,5 tahun, dan DPR RI turut memberikan pertimbangan kepada Presiden, wajar jika publik mempertanyakan : Apakah rehabilitasi ini tanda bahwa sistem hukum bekerja, atau justru isyarat ada yang salah sejak awal?

Tulisan ini menelaah isu tersebut dalam tiga fokus : (1) kedudukan rehabilitasi Presiden dalam hukum Indonesia, (2) keabsahan metodologi penegakan hukum tipikor di BUMN, dan (3) apakah pemeriksaan etik terhadap jaksa dan hakim diperlukan untuk menghindari kriminalisasi kebijakan publik.

1. Hak Prerogatif Presiden dan Rehabilitasi : Antara Konstitusi, Politik Hukum, dan Legitimasi Peradilan

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Pasal 14 UUD 1945 memberikan hak prerogatif Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Meski istilah rehabilitasi tidak dicantumkan secara eksplisit, doktrin hukum menempatkannya sebagai tindakan pemulihan hak dan reputasi seseorang yang terdampak proses hukum.

Penting ditegaskan bahwa rehabilitasi dalam konteks Presiden berbeda secara fundamental dari rehabilitasi dalam KUHAP.

Rehabilitasi versi KUHAP hanya dapat diberikan kepada terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, rehabilitasi Presiden lebih bersifat penilaian moral atau pemulihan nama baik, tanpa membatalkan atau mengubah putusan pengadilan.

Secara yuridis formal, langkah Presiden tidak melanggar konstitusi. Namun secara normatif dan politis, rehabilitasi dalam kasus tipikor memiliki implikasi serius.

Di satu sisi, ia dapat dipahami sebagai instrumen koreksi terhadap potensi ketidakadilan prosedural maupun substantif. Di sisi lain, ia berpotensi mengirim sinyal bahwa eksekutif tidak sepenuhnya sejalan dengan logika peradilan.

Dengan demikian, pertanyaan kunci muncul: Apakah rehabilitasi ini merupakan upaya pemulihan terhadap kekeliruan sistemik dalam penegakan hukum, atau justru preseden berbahaya yang melemahkan legitimasi putusan pengadilan?

Pertanyaan ini tidak dapat dijawab tanpa menelaah aspek paling kontroversial dari kasus ini dengan adanya besaran kerugian negara yang diklaim mencapai Rp 1,25 triliun.

2. Kerugian Negara Rp 1,25 Triliun : Persoalan Metodologi dalam Tipikor BUMN

Dalam hukum pidana korupsi, kerugian negara bukan sekadar angka, akan tetapi merupakan unsur pokok yang harus nyata (actual loss), terukur, dan dibuktikan melalui audit resmi oleh BPK atau BPKP. Tidak ada tempat bagi “kerugian potensial”, “estimasi pasar”, atau “proyeksi pendapatan” dalam konstruksi pidana.

Literatur akademik dan praktik pengadilan dalam 15 tahun terakhir menunjukkan adanya pola kriminalisasi direksi BUMN melalui pendekatan yang perlu dikritisi untuk dijadikan koreksi, bahwa kerugian bisnis (business loss) diperlakukan sebagai kerugian negara (state loss).

Padahal dalam tata kelola korporasi, direksi dilindungi oleh business judgment rule (BJR) selama keputusan bisnis melalui prosedur dan mekanisme :

  1. Diambil berdasarkan informasi yang memadai,
  2. Dilakukan dengan itikad baik, dan
  3. Tidak melibatkan konflik kepentingan.

BJR adalah norma universal dalam corporate law. Tanpanya, setiap direksi BUMN berpotensi dikriminalisasi hanya karena hasil bisnis yang buruk.

Dalam kasus Tipikor ASDP, yang menjadi pertanyaan publik adalah :

Apakah kerugian Rp 1,25 triliun tersebut memenuhi standar kerugian negara yang sah secara yuridis ?
Jika kerugian dihitung berdasarkan :

Exit mobile version