JAKARTA, Mediakarya – Indonesia Audit Watch (IAW) menyoroti proyek Aids to Navigation (AToN) dengan kode INA-24 pernah digadang-gadang sebagai langkah maju bagi keselamatan pelayaran Indonesia.
Di mana dana pinjaman lunak senilai 97,1 juta dolar AS dari Economic Development Cooperation Fund (EDCF) Korea Selatan telah disiapkan, dengan bunga hanya 0,15 persen per tahun dan tenor hingga 40 tahun.
“Dalam skema ini, Indonesia mendapat masa tenggang pembayaran selama sepuluh tahun, ini seperti sebuah kesepakatan yang di atas kertas terlihat seperti peluang emas,” ujar sekretaris pendiri IAW, Iskandar Sitorus, Sabtu (9/8/2025).
Namun, di balik angka-angka manis itu, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Proyek ini justru terhenti di tengah jalan.
“Bagi publik, kesalahan seolah ada di Kementerian Perhubungan selaku pelaksana. Padahal, jika ditarik ke hulu, akar persoalan ini justru bermula di meja perencana: Bappenas,” ungkap Iskandar.
IAW mencatat adanya jejak kegagalan proyek tersebut sedari awal. Seperti, pada 2016, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan menandatangani perjanjian pinjaman dengan pihak Korea.
“Sebelum sampai ke tahap ini, Bappenaslah yang memproses proyek ini ke dalam daftar Blue Book, itu adalah daftar proyek prioritas yang layak untuk dicarikan pendanaan luar negeri, lalu memasukannya ke Green Book, yang berarti siap untuk didanai,” ujarnya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2011, proses masuknya sebuah proyek ke Green Book mensyaratkan kajian kelayakan teknis, finansial, sosial, dan kelembagaan. Bappenas juga wajib menilai kemampuan pelaksana, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, untuk menjalankan proyek tersebut.
Namun, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2022 mengungkap fakta penting bahwa Feasibility Study proyek INA-24 tidak memuat analisis kemampuan pelaksana.
“Artinya, sejak awal Bappenas telah memberikan stempel “siap jalan” tanpa memastikan bahwa Kemenhub benar-benar memiliki kesiapan sumber daya, kelembagaan, dan teknis untuk melaksanakannya. Fatal bukan? Pantas Kemenhub jadi kelimpungan. Korea jadi kebingungan. Makelar Korea-Indonesia jadi berantakan,” bener Iskandar.
Lebih lanjut, sejak penandatanganan perjanjian pinjaman pada 2016 hingga beberapa tahun berikutnya, tahapan pelaksanaan berjalan tersendat. Tender berulang kali gagal, dan progres fisik proyek nyaris tidak bergerak.
Dalam periode ini, seharusnya Bappenas punya kewajiban hukum untuk melaporkan perkembangan proyek kepada DPR setiap triwulan, sebagaimana diatur dalam pasal 19 Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Pasal itu mengatur bahwa kewenangan utang-piutang negara sebagai instrumen kebijakan fiskal. Seluruh pinjaman harus tercantum dalam APBN dan dilaporkan secara publik,” katanya.
Faktanya, kata Iskandar, laporan itu tidak pernah muncul. Tidak ada catatan resmi yang menunjukkan Bappenas memberi peringatan atau teguran kepada Kementerian Perhubungan meski keterlambatan sudah jelas terjadi. Bahkan ketika BPK mencatat bahwa proyek ini stagnan, respons Bappenas nyaris tak terdengar.
Pada masa persetujuan proyek, fungsi dan tugas Bappenas diatur dalam Perpres nomor 66 tahun 2015. Kini, aturan itu sudah dicabut dan digantikan oleh Perpres nomor 195 tahun 2024.
Meski regulasi berubah, inti kewajiban Bappenas tetap sama, yakni merencanakan, mengawal, dan mengevaluasi proyek pembangunan yang dibiayai pinjaman luar negeri.
Selain itu, Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 mewajibkan semua rencana sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sementara Undang-Undang nomor 1 tahun 2022 mengamanatkan koordinasi pengawasan dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Dengan kata lain, Bappenas tidak bisa berkilah bahwa pengawasan hanyalah tugas pelaksana! Sebagai inisiator dan pengawal proyek, mereka bertanggung jawab penuh dari tahap perencanaan hingga hasil akhir,” tandasnya.
Lebih jauh Iskandar mengatakan, jika ditelisik dari sudut hukum, setidaknya ada tiga pelanggaran yang dapat disematkan kepada Bappenas dalam kasus INA-24 ini.
Pertama, maladministrasi karena menyetujui proyek tanpa verifikasi memadai terhadap kesiapan pelaksana, itu sebuah pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kedua, kelalaian pengawasan karena tidak melaporkan perkembangan proyek kepada DPR, melanggar Undang-Undang nomor 17 tahun 2003.
Ketiga, potensi kerugian negara akibat keterlambatan, yang memicu risiko penalti dan pembayaran bunga tanpa manfaat, yang bisa dikaitkan dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Pola kelalaian ini juga pernah dicatat Ombudsman RI dalam kasus proyek JICA tahun 2020, di mana feasibility study disetujui tanpa verifikasi mendalam, lalu proyek mandek di eksekusi,” sebut Iskandar.
Bukan Satu-satunya Proyek EDCF Yang Gagal
Berdasarkan catatan IAW, kasus INA-24 hanyalah bagian dari pola kegagalan yang lebih besar. Pada 2012, proyek modernisasi sebuah pelabuhan yang dibiayai pinjaman EDCF senilai 80 juta dolar AS gagal total karena lahan tidak siap.
Pada 2018, proyek Sistem Informasi Transportasi senilai 60 juta dolar AS berjalan sangat lambat setelah tender harus diulang tiga kali. Semua kasus ini memiliki benang merah, yaitu, proyek sudah lolos Green Book, tapi pelaksana tidak siap, dan Bappenas tidak mengintervensi tepat waktu. Bappenas selalu lepas tanggungjawab!
Terkait dengan permasalahan tersebut, IAW merekomendasikan empat langkah konkret. Pertama, audit BPK yang fokus pada dokumen persetujuan Bappenas untuk proyek INA-24, guna memastikan ada atau tidaknya kelalaian prosedural. Kedua, pelaporan ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi.
“Dan yang ketiga, mendorong judicial review atas PP nomor 10 tahun 2011 untuk mewajibkan publikasi laporan kemajuan proyek utang secara terbuka. Keempat, hearing DPR yang memanggil Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan untuk mempertanggungjawabkan kegagalan ini di hadapan publik,” pintanya.
IAW menilai poyek INA-24 seharusnya menjadi simbol kerja sama internasional yang produktif. Alih-alih, ia menjadi bukti bahwa kelalaian di tahap perencanaan dan pengawasan
Bappenas mengorbankan uang rakyat. Utang tetap harus dibayar sesuai jadwal, tapi manfaat proyek belum dapat dirasakan masyarakat dan dunia pelayaran.
Dalam negara hukum, kata dia, kegagalan seperti ini tidak boleh dibiarkan menjadi rutinitas. Bappenas bukan sekadar pencatat rencana, melainkan penjaga gerbang agar setiap utang luar negeri benar-benar memberi manfaat.
“Dan ketika gerbang itu dibuka tanpa penjagaan, yang masuk bukan kemajuan, melainkan beban yang akan ditanggung generasi berikutnya,” pungkasnya.