- Korban meninggal > 100 orang, ini sudah terpenuhi 7–8 kali lipat,
- Pengungsi > 100.000, itu terpenuhi 32 kali lipat,
- Lintas provinsi, sudah terpenuhi,
- Kerugian > Rp1 triliun, malah sudah terpenuhi berlapis-lapis.
Namun ada satu bacaan politis–strategis yang mungkin tumbuh di benak Presiden Prabowo, ia tampaknya memilih “menunda”, sembari untuk mengumpulkan basis hukum kuat, karena status Bencana Nasional akan membuka gerbang penyidikan multi-pintu terhadap:
- Korporasi sawit, tambang, dan HTI,
- Pemerintah daerah penerbit izin,
- Kementerian/lembaga yang mengabaikan rekomendasi BPK,
- Oknum aparatur yang menutup mata atas peringatan kerusakan DAS.
Jika status “nasional” ditetapkan terlalu dini, korporasi bisa bersembunyi di balik dalih “bencana alam murni”. Bisnis perasuransian akan berperilaku menjadi tidak adil! Namun jika ditetapkan setelah bukti siap, hasilnya lebih mematikan, itu secara hukum.
Dalam dunia hukum lingkungan, ini disebut “strategic enforcement timing.” Dan Presiden tampaknya sedang menerapkannya!
Inilah saatnya pemerintah menggunakan senjata lengkap peraturan
Saat ini, begitu status Bencana Nasional diputuskan, pemerintah bisa menjalankan mekanisme multi-door:
- Polri menyidik pidana lingkungan sesuai pasal 98–99 UU 32/2009 jo pasal 109–113 terkait pencemaran dan perusakan,
- Kejaksaan Agung menggugat perdata pemulihan lingkungan sesuai pasal 90 UU 32/2009 (strict liability) dengan gugatan ganti rugi Rp triliunan,
- KPK menyidik korupsi perizinan dan TPPU sesuai pasal 12 UU Tipikor serta pasal 3 dan 5 TPPU maupun alur fee perizinan sawit/tambang,
- BPK membuktikan audit 20 tahun sesuai pasal 8 UU BPK yang menyatakan LHP adalah alat bukti sah,
- KLHK lakukan penegakan administratif berupa pencabutan izin, denda pemulihan dan pemakzulan perusahaan operator.
Dengan kombinasi ini, penyidikan bukan hanya mungkin, tapi wajib secara hukum.
Apa yang harus dilakukan sekarang?
Presiden Prabowo memiliki peluang emas untuk mencatat sejarah:




