SUKABUMI, Mediakarya – Kongres XXII Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang digelar di Kota Bandung resmi berakhir. Namun alih-alih menjadi tonggak sejarah konsolidasi ideologis, forum ini justru mencerminkan perpecahan dan degradasi nilai dalam tubuh organisasi yang selama ini dibanggakan sebagai pilar intelektual kaum Marhaenis.
Kongres yang semestinya menjadi arena pematangan ide dan regenerasi kepemimpinan ideologis, berubah menjadi kontestasi semu yang dibalut formalitas prosedural. Manipulasi sidang, intimidasi politik, dan rekayasa pengambilan keputusan menjadi bagian dari “skenario besar” demi mengamankan kepentingan segelintir kelompok yang haus legitimasi namun miskin integritas.
Padahal, kehadiran GMNI di ruang-ruang sakral seperti Gedung Merdeka seharusnya menjadi refleksi sejarah dan kesadaran kolektif. Gedung itu bukan sekadar bangunan, melainkan simbol perlawanan—tempat Bung Karno dan para pemimpin dunia berdiri sejajar melawan penindasan global. Alih-alih merayakan semangat itu, justru terjadi penodaan nilai-nilai perjuangan.
Sekretaris DPC GMNI Sukabumi Raya, Rifky Zulhadzillah, menilai bahwa GMNI saat ini sedang menghadapi situasi yang tidak ideal, yakni fragmentasi internal yang terjadi secara nasional. Situasi ini ditandai dengan munculnya faksi-faksi kepentingan, perpecahan struktural, serta inkonsistensi gerakan yang dapat merusak semangat kolektif dan menggerus nilai-nilai utama GMNI, yakni asas perjuangan Marhaenisme.