Seruan Pembubaran NKRI Tindakan Salah Sasaran

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof. Dr. Amir Santoso

JAKARTA, Mediakarya – Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof. Dr. Amir Santoso menilai seruan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk keputusasaan yang salah sasaran.

“Setiap kali negara lamban, pejabat salah urus, dan korupsi kembali terbongkar, selalu muncul satu seruan emosional bahwa negara ini sudah gagal, maka lebih baik bubar saja,” kata Amir dalam keterangannya kepada Medialaryq, Jum’at (26/12/2025).

Menurut Amir, seruan itu terdengar keras, berani, dan revolusioner.
Padahal sesungguhnya itu adalah bentuk keputusasaan yang salah sasaran. Yang gagal bukan negaranya, tapi yang gagal adalah pejabatnya.

“Indonesia tidak runtuh karena kekurangan sumber daya, rakyat, atau sejarah. Indonesia bermasalah karena terlalu lama memelihara pejabat yang tidak kompeten dan korup, lalu menormalisasi kegagalan mereka seolah itu takdir,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa negara bukan makhluk hidup yang bisa bersalah. Negara adalah sistem. Dan sistem rusak bukan karena konsepnya, tapi karena orang-orang yang menjalankannya salah, malas, atau rakus.

“Menyalahkan NKRI karena ulah pejabat sama absurdnya seperti menyalahkan rumah karena atap bocor, padahal tukangnya ceroboh. Membakar kapal karena nakhodanya mabuk,” paparnya.

Dia juga mengungkapkan bahwa mengorbankan negara demi melampiaskan amarah pada pejabat adalah logika yang malas.

Menurutnya, ketidakmampuan pejabat itu kejahatan dan korupsi memang menjijikkan. Tapi jangan lupa bahwa pejabat bodoh jauh lebih berbahaya daripada pejabat licik.

“Pejabat yang tidak paham masalah, membuat kebijakan tanpa data, sibuk pencitraan, alergi kritik, dan kebal evaluasi, telah melakukan kejahatan publik secara perlahan,” ungkapnya.

“Mereka mungkin tidak mencuri uang secara langsung, tapi mereka mencuri waktu, masa depan, dan kesempatan rakyat. Lebih parah lagi, banyak dari mereka tetap dipertahankan atas nama stabilitas politik,” sambung Amir.

Dia juga menyoroti ironi yang terjadi di Indonesia, di mana pejabat korup masih bisa tersenyum di depan kamera dan pejabat gagal masih bisa promosi jabatan. Sebaliknya, rakyat yang marah justru dicap radikal, pembenci negara, atau anti-pemerintah.

“Ini logika terbalik. Mengkritik pejabat yang merusak negara adalah tindakan patriotik. Yang tidak nasionalis justru mereka yang membiarkan negara dirusak dari dalam. Korupsi tidak akan hilang selama pelakunya masih dilindungi oleh kompromi elite. Dan rakyat tidak akan percaya pada negara selama yang salah tidak pernah benar-benar disingkirkan,” paparnya.

Narasi Bubarkan NKRI Untungkan Elite Gagal

Menurut Amir, seruan membubarkan NKRI justru sangat menguntungkan elite yang gagal. Sebab, ketika rakyat sibuk bertengkar soal ideologi, saling mencurigai, dan terpecah secara identitas, para pejabat korup bisa bernapas lega.

“Mereka tidak lagi disorot. Isu bergeser dari tanggung jawab pejabat ke perdebatan eksistensi negara. Itu bukan perlawanan. Itu pengalihan isu yang sempurna,” katanya.

Amir mengusulkan solusi konkret untuk perubahan, yakni copot pejabat yang gagal, adili pejabat yang korup, hentikan budaya jabatan sebagai hadiah politik, serta paksa transparansi dan evaluasi terbuka.

“Negara tidak perlu dibakar untuk dibersihkan. Dia perlu diperbaiki dengan tekanan publik yang cerdas dan konsisten,” ujarnya.

Amir menegaskan, jangan salah musuh, marah itu wajar, dan kecewa itu manusiawi. “Tapi jangan salah musuh. Musuh kita bukan NKRI. Musuh kita adalah
ketidakmampuan yang dipelihara, korupsi yang dilindungi, dan kekuasaan yang alergi tanggung jawab,” katanya.

“Ganti pejabatnya. Bersihkan sistemnya. Selamatkan negaranya. Bukan sebaliknya,” tutup Amir.

Exit mobile version