Sosialisasi Pasangan Capres Yang Menyejukkan

Oleh Agus Wahid

Boleh jadi, baru kali ini terjadi dalam sejarah sosialisasi calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) yang penuh aroma kesejukan. Meski di bawah terik matahari, namun suasana puluhan bahkan ratusan ribu massa hadirin tetap dalam suasana sejuk. Itulah pemandangan sosialisasi Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar di setiap silaturahim akbar di berbagai daerah, apalagi di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memang menjadi basis massa NU.

Apa yang membuat sejuk? Shalawat Nabi yang terus berkumandang jelang bahkan saat berlangsung silaturahim akbar itu. Sebuah shalawatan yang menggema dan memang menjadi tradisi kuat kaum Nahdliyyin di manapun. Tradisi bagus ini tentu punya makna positif-konstruktif. Di satu sisi, sebagai muslim beriman, bershalawat kepada Nabi di manapun dan dalam kondisi apapun memang dianjurkan, tanpa kecuali, termasuk urusan politik.

Dalam bahasa kultural Islam, shalawat Nabi memang mampu menyejukkan hati setiap diri yang bershalawat, bahkan yang mendengarkannya, meski beda keyakinan (faith). Satu hal yang cukup signifikan perbedaannya, tak ada cerita dalam panggung sejarah, bahwa dalam bershalawat diiringi gerak berjingkrak-jingkrak seperti layaknya panggung musikal.

Implikasi psikologis dari shalawatan  sebagai sisi lain membuat suasana tenang. Hadirin yang berjumlah puluhan bahkan ratusan ribu itu dibikin tenang dengan penuh khusyu`untuk mendengarkan pidato politik atau apapun yang disampaikan capres dan atau cawapres. Sama artinya, mereka dapat menggaris-bawahi sejumlah pointers sebagai misi besar yang ingin dan akan diperjuangkan pasangan capres-cawapres itu.

Disadari atau tidak, pengkondisian alamiah melalui pembacaan shalawat memperkuat persuasai dan atensi yang sangat magnetik. Dalam perspekatif komunikasi, shalawat sebagai tool pengkondisian yang efektif untuk menggapai tujuan. Yaitu, daya impresi massa yang berpotensi besar menjadi elektoralnya.

Mencermati panorama basis kultural Nahdliyyin itu tak bisa dipungkiri hal itu terjadi setelah Anies Baswedaan – secara definitif dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar. Memang, saat Gus Imin belum dipasangkan itu, daya magnet Anies tetap kuat dan menonjol. Terbukti, di manapun Anies bersilaturahim di medan terbuka, tetap disambut dengan gegap gempita dalam jumlah massa ribuan, puluhan bahkan ratusan ribu. Tergantung lokasi perhelatan. Namun, tak bisa disangkal, shalawatan begitu menggema setelah Gus Imin sebagai unsur Nahdliyyin ditetapkan oleh Koalisi Perubahan dan Persatuan sebagai pendamping Anies.

Yang perlu kita cermati lebih jauh, gema shalawat yang begitu membahana bukan hanya menggambarkan jumlah yang  secara kuantitatif demikian besar. Tapi, gema itu merefleksikan heterogonitas sosial yang menyatu atau membaur dari berbagai lapisan. Antara elitis dan grassroot benar-benar merefleksikan kesatuan rakyat. Meminjam diksi bahasa sosiologi Jawa, grass-root adalah lapisan wong cilik. Atau dalam bahasa sosial-ekonomi Islam kita kenal dengan sebutan kaum dlu`afa. Secara piramida, komponen grass-root atau wong cilik jumlahnya jauh lebih besar dibanding lapisan menengah atau elit. Dan kuantitas ini dalam perspektif demokrasi sungguh penting sebagai faktor kemenangan.

Yang perlu kita garis-bawahi, keberadaan mereka hadiri silaturahim Anies-Muhaimin (AMIN) sejatinya untuk mendengarkan langsung adakah harapan baru yang akan dibangun di bawah calon pemimpin nasional itu. Mereka berharap banyak terhadap AMIN karena kegagalan yang dirasakan selama delapan tahun terakhir ini. Sebuah harapan rasional. Tidak mengada-ada atau berlebihan.

Perlu kita catat, AMIN bukan bermaksud mengkapitalisasi kebutuhan psikologis massa yang merindukan perubahan substantif tentang kehidupan sebagai rakyat kecil, tapi hal-hal yang sangat mendasar itu memang menjadi cita-cita besar yang harus dituntaskan. Keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat bukan sekedar tercantum dalam sila kelima Pancasila, tapi realisasi sila kelima ini mamang amanat konstitusi dan para pendiri negeri ini. Sebagai sang pemimpin, amanat itu bukanlah aksesoris dalam satuan cita-cita bernegara. Tapi, memang merupakan perjuangan yang harus dirasakan hasilnya oleh seluruh elemen rakyat. Dalam hal ini, seluruh elemen wong cilik menemukan komitmen politik yang siap diperjuangkan sang kandidat (AMIN).

Bukankah itu baru sebatas komitmen? Betul. Namun terkhusus untuk Anies  komitmen itu telah ditunjukkan dalam kinerjanya saat memimpin DKI Jakarta. Penuntasan komitmen yang bernunasa keadilan sosial-ekonomi inilah yang bisa dijadikan banch mark secara reflektif untuk menilai kinerja AMIN ke depan, bukan mereka-reka. Yang dapat kita lansir lebih jauh adalah komitmen itu menggambarkan sikap keamanahan saat otoritas ada di pundaknya. Tanda tangannya ditorehkan untuk misi besar kepentingan konstruktif rakyat Jakarta. Inilah realitas yang mendorong elemen rakyat di seluruh Nusantara ini cemburu, ingin sama-sama mendapatkan kue keadilan itu. Sebuah keinginan proporsional.

Berlebihankah? No. Diawali dengan pemahamannya sebagai sang pemimpin, diperkuat dengan karakter keamanahan (integritas, jujur dan transparansi), ditambah kemampuan managerialnya dan kecakapan mencari terobosan kreatif-inovatif, semua itu menumbuhkan harapan baru dan keyakinan bagi masyarakat Indonesia, bahwa Anies khususnya bukan tipe pemimpin nato (no action talking only). Langkah-langkah konstruktif ini akan diperkuat Gus Imin selaku wapresnya.

Dalam topografi politik, kehadiran Gus Imin menjadi harapan tersendiri bagaimana menciptakan konsentrasi khusus terhadap wong cilik, dari anasir Nahdliyyin yang menyeruak di berbagai pedesaan, ataupun lainnya. Sangat boleh jadi, akan muncul pembagian konsentrasi tugas: Anies lebih banyak konsentrasi kebijakan dan pengelolaannya ke masyarakat perkotaan, sedangkan Gus Imin ke masyarakat pedesaan. Klop. Dan pembagian konsentrasi ini secara sosiologis dan politik menjadi krusial untuk mengikis kesenjangan sosial-ekonomi yang kini masih menganga besar.

Implikasinya, akan terbangun political will yang kuat untuk melakukan rekonstruksi sistem perundang-undangan yang sangat mendasar terkait kepentingan daerah, sekaligus meninjau kembali sistem sentralisme yang hingga kini masih terasa kuat. Otonomi daerah setengah hati. Di sinilah akan kita saksikan model pembagian kinerja presiden dan wakil presiden yang akan dikawal dengan penuh integritas. Pengawalan ini pula yang pada akhirnya memberikan harapan besar tentang impian keberdayaan daerah dan masyarakatnya dalam nuansa keadilan yang merata.

Akhirnya, kita layak bersyukur, aroma kontestasi pemilihan presiden (pilpres) yang selama ini cenderung panas, tapi pasangan AMIN justru seperti menawarkan tradisi baru: shalawatan yang menenteramkan atau menyejukkan. Harapan besarnya, kontestasi pilpres terbangun aroma baru kultural yang sama-sama menyejukkan dan mendamaikan. Selama itu baik dan menjadi kebaikan, mengapa harus alergi. Silakan pasangan capres-cawapres lain menawarkan model sosialisasi (kampanye) yang jauh dari aroma panas dan membakar. Untuk keselamatan anak bangsa.

Hasil yang menentramkan suasana ini mengabsahkan atau membenarkan penggunaan politik identitas dalam basis budaya. Yang menarik adalah penggunaan politik identitas ini (shalawatan) justru oleh masyarakat itu sendiri secara tak disadari. Langsung mengalir (berkumandang) secara alamiah. Fakta sosiologis kultural agamis ini tak bisa dituding bahwa pasangan capres-cawapres mengkapitalisasi politik identitas. Inilah realitas kultural yang juga perlu disadari para elitis fungsionaris PBNU yang sering melarang penggunaan politik identitas dalam panggung politik praktis. Sebuah larangan yang tidak proporsional sekaligus tendensius: ada sesuatu di balik kepentingan sempitnya. Perlu dikoreksi.

Penulis: Direktur Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *