Tanah Stren Afvour Brubi Dari Zaman Kolonial Hingga Ujian Reformasi Polri Era Presiden Prabowo

Sekjen IAW Iskandar Sitorus (Foto: Medkar)

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) 

Untuk Komisi Percepatan Reformasi Polri, berangkat dari laporan Muhammad Maliki dan Komunitas Penggarap P2T2 DAS Kabupaten Lumajang

Reformasi Polri dimulai dari sawah yang tak dilindungi

Reformasi Polri sering dimulai dengan kata-kata besar, digitalisasi, modernisasi, atau tata kelola berbasis presisi. Tapi di Desa Besuk, Lumajang, semua jargon itu diuji oleh hal paling sederhana, yakni pagar bambu yang dirusak, surat tanah yang diabaikan, dan laporan polisi yang diterima tanpa dasar hukum.

Kasus ini menjadi mikrokosmos dari penyakit lama Polri yaitu prosedur dipatuhi di atas kertas, tapi keadilan mati di lapangan. Itulah sebabnya laporan Muhammad Maliki bukan sekadar surat warga desa, melainkan pesan reformasi dari akar terdalam Republik.

Jejak kolonial awal dari segalanya

Sejak zaman kolonial Belanda hingga Polres Lumajang hari ini, tanah Stren Afvour Brubi menjadi saksi bisu tentang bagaimana hukum bisa berubah wujud, yaitu dari alat keadilan menjadi alat kekuasaan. Dari sempadan sungai yang dulu diatur untuk irigasi rakyat, kini berubah menjadi gelanggang tarik-menarik kepentingan, antara warga yang menjaga tanah negara, dan aparat yang menutup mata pada bukti hukum.

Pada masa Hindia Belanda, kawasan ini dikenal sebagai Afvour Broeby, bagian dari jaringan irigasi kolonial. Berdasarkan Agrarische Wet 1870, statusnya adalah domein van de staat atau tanah negara. Pasca kemerdekaan, tanah semacam ini otomatis menjadi milik negara sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA 1960, dengan fungsi utama bagi kemanfaatan bagi rakyat.

Ia adalah tanah negara yang sejak 1952 dikelola rakyat dan diakui lewat Surat Kepala Daerah Pengairan No. T.3/3 tanggal 14 Januari 1963. Negara mengakui penggarap, memberi hak, dan mencatat pembayaran pajak. Tahun 1963, Kepala Daerah Pengairan Pekalen Sampean menerbitkan surat No. T.3/3, mengakui pengelolaan masyarakat atas lahan tersebut secara sah dan bertanggung jawab.

Inilah dasar legal pertama warga: izin pengelolaan sempadan sungai dengan tanggung jawab ekologis. Bukan penguasaan liar, melainkan pengelolaan negara oleh rakyat.

Masa transisi: negara abai, rakyat bertahan

Tahun 1980–1990-an, administrasi berjalan rapi. Ada 13 bukti jual-beli hak garap (1986–1997), ada SPPT PBB yang dibayar rutin, ada surat dari Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur tahun 1987 dan 1994 yang menegaskan hak kelola warga. Sejak saat itu segala transaksi di atas tanah itu diantara warga, tercatat dalam 13 kwitansi dan perjanjian hukum sah. Ini diakui berdasar pasal 1338 KUHPerdata yakni sah, mengikat, dan tidak pernah dibatalkan negara.

Masalah baru muncul ketika Pemkab Lumajang pada 2004 ada menyewa sebidang tanah di area tersebut menjadi tempat penampungan sampah yang bersumber dari APBD. Itu tanda bahwa mereka sadar bukan pemilik. Tapi dua dekade kemudian, yakni tahun 2020 status tanah tiba-tiba berubah di atas kertas, yakni tanah sempadan sungai ini justru dimasukkan ke Kartu Inventaris Barang (KIB) A Dinas PUTR Kabupaten Lumajang tanpa berita acara serah terima, tanpa dasar hukum. Dari sini lahir anomali besar: Pemkab menjadi “pemilik” tanah negara. Inilah awal anomali hukum, yakni dari menyewa menjadi menguasai.

Ketika keadilan mulai dibelokkan

Pada 2020, Pemkab Lumajang menerbitkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) di atas tanah yang tidak pernah menjadi aset sahnya. Proses ini disertai dugaan pungutan Rp.17.500.000, dan menjadi dasar konflik antara penggarap yang diwakili Eko Prabekti dkk dengan seorang penyewa, Muhammad Agus Saifullah.

Ketika Muhammad Agus Saifullah menggugat warga secara perdata, Pengadilan Negeri Lumajang memutus dengan tegas bahwa gugatan itu Niet Ontvankelijke Verklaard (N.O.V.), artinya Agus tidak memiliki legal standing untuk menggugat, karena bukan pemilik sah tanah. Namun, seolah-olah hukum tak pernah dibaca, kasus ini justru berlanjut di jalur pidana.

Tiga laporan tiga wajah penegakan hukum

Inilah bukti telanjang bagaimana Polres Lumajang gagal menerapkan asas keadilan yang berimbang.

1. Laporan Eko Prabekti, LI-16/IV/RES.3.3/2023/Satreskrim, tanggal 17 April 2023; substansinya dugaan korupsi dan pungutan liar dalam penerbitan SKR oleh oknum pejabat Pemkab Lumajang.

Status: diterima oleh Polres Lumajang, namun tidak pernah naik ke tahap penyelidikan resmi.

Catatan: padahal Eko melampirkan bukti transfer, kwitansi, serta SKR bermasalah yang memenuhi unsur pasal 12B UU Tipikor tentang gratifikasi.

2. Laporan Muhammad Maliki nomor LPM/166/VII/2024/SPKT/POLRES LUMAJANG, tanggal 06 Juli 2024 (telah diterima resmi di SPKT Polres Lumajang, 2024). Substansi: laporan perusakan pagar bambu yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Muhammad Agus Saifullah sehingga truk tangki yang dikemudikan pihak Agus Saifullah pada 6 Juli 2024 bisa masuk ke lokasi tempat pembuangan limbah tetes tebu.

Status: diterima, namun tidak ada tindak lanjut berarti tidak ada olah TKP, tidak ada pemeriksaan saksi kunci, bahkan awalnya tidak ada pemberitahuan perkembangan laporan (SP2HP) sebagaimana diatur Perkap No.6 tahun 2019, setelah Kapolri disurati oleh P2T2 DAS kabupaten Lumajang dengan surat nomor: 1A/P2T2 DAS/VII/2025 tanggal 17 Juli 2025 dengan perihal Mohon Perlindungan Hukum dan Memeriksa Kinerja Buruk Oknum Polisi di Polres Lumajang, baru terbit SP2HP yang malah menyebut kasus itu SP3.

3. Ketika Muhammad Agus Saifullah, seorang yang mengaku penyewa tanah dari Pemkab, kalah di Pengadilan Negeri Lumajang dengan putusan N.O.V., namun pada 6 Juli 2024, dua truk tangki milik Agus merusak pagar milik penggarap, bukannya ditindak, Agus justru melapor balik ke Polres Lumajang nomor LPM/164/II/2024/SPKT, tuduhan pemerasan oleh penggarap yang justru merupakan korban perusakan. Benarkah Agus diperas? Tidak satupun fakta dimilikinya, cenderung tidak sesungguhnya!

Dan di sinilah tragedinya dimulai, yaitu laporan yang seharusnya ditolak justru diterima dan diproses cepat oleh IPDA Syaiful Anwar, S.H., yang diduga memiliki hubungan pribadi dengan pihak berkepentingan, sebagai anak angkat Alm H. Kayun ayahnya Agus.

Status: diproses cepat oleh penyidik IPDA Syaiful Anwar, S.H.,yang kemudian meningkatkan laporan ini ke tahap penyidikan.

Catatan: Agus telah dinyatakan tidak memiliki legal standing oleh pengadilan, namun laporannya justru diprioritaskan.

“Inilah bentuk konflik kepentingan struktural, ini penyakit paling berbahaya dalam tubuh penegak hukum”

Kontras inilah yang menjadi potret buram penegakan hukum, dimana dua laporan sah Eko dan Maliki ditelantarkan, sementara laporan pihak yang kalah di pengadilan justru diakomodasi.

Pelanggaran prosedural dan konflik kepentingan

Analisis hukum menunjukkan lima pelanggaran serius oleh penyidik Polres Lumajang:

1. Tidak melakukan verifikasi legal standing pelapor, ini melanggar pasal 4 ayat (1) huruf a Perkap No.6/2019. Malah laporan dari pihak yang sudah dinyatakan “tidak berhak” tetap diproses.

2. Adanya konflik kepentingan penyidik, IPDA Syaiful Anwar, S.H. diduga memiliki hubungan dekat (anak angkat H. Kayun, pihak yang terlibat langsung) bisa memperalat mekanisme penegakan hukum Polri. Seharusnya dilakukan pengalihan penanganan perkara ke penyidik lain sebagaimana diatur pasal 8 ayat (2) Perkap 6/2019.

3. Tidak memberikan SP2HP kepada pelapor Maliki dan Eko secara alamiah, ini melanggar Perkap No.12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana, setelah dilapor ke Mabes Polri baru SP2HP diterbitkan yang menjelaskan di-SP3.

4. Tidak melakukan audit lapangan dan olah TKP dalam kasus perusakan, ini pelanggaran prosedur penyidikan awal, menyebabkan hilangnya barang bukti penting. Gagal memahami hukum agraria, tanah negara dan hak garap bukan sekadar objek perdata, ia punya dimensi sosial dan sejarah. Polri butuh unit analisis agraria, bukan sekadar penyidik formalistik.

5. Indikasi penyalahgunaan wewenang sesusi pasal 421 KUHP karena penyidik memproses laporan yang seharusnya gugur secara hukum, dan mengabaikan laporan warga yang sah.

Ujian nyata reformasi Polri di era Presiden Prabowo

Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri untuk menghapus praktik ketimpangan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Namun reformasi itu tak akan berarti jika tidak diuji di kasus nyata, dan Lumajang bisa menjadi laboratorium pertamanya.

Kasus tiga laporan ini memperlihatkan bagaimana reformasi belum menyentuh akar persoalan, yakni budaya penyidikan yang transaksional, pemihakan terhadap yang kuat, dan ketidakmampuan membaca keadilan substantif.

Reformasi Polri tidak bisa berhenti di Mabes, tetapi harus menyentuh ruang kecil tempat warga berhadapan dengan aparat. Di sinilah moral hukum diuji, bukan oleh teori, tapi oleh perlakuan terhadap rakyat kecil.

Rekomendasi IAW untuk Komisi Percepatan Reformasi Polri

1. Tindakan segera, berupa:

Exit mobile version