Tanah Negara yang Hilang: Dari 250.000 Jadi 5.873 Hektare di Sumut, Jejak Korupsi Terbesar Indonesia

Iskandar Sitorus. (Ist)

2. Kebijakan landreform Pemerintah Indonesia, melalui berbagai peraturan (1951-1984) yakni melakukan redistribusi tanah bekas konsesi tersebut kepada masyarakat. Tanah ini dikenal sebagai tanah Suguan dan tanah KRPT/KTPPT, dengan diterbitkannya SKTPPT sebagai bukti bagi petani.

3. Pemberian HGU kepada perkebunan, namun di sisi lain, pemerintah juga memberikan HGU kepada perusahaan negara (cikal bakal PTPN II) seluas ±59.000 Ha.

4. Inti pelanggaran oleh PTPN II menurut Pansus DPR adalah:

  • Penguasaan berlebih: PTPN II diduga menguasai tanah jauh melebihi alokasi 59.000 Ha. Laporan Pansus menghitung PTPN II menguasai ±62.210,47 Ha, artinya ada kelebihan ±19.093,96 Ha.
  • Sumber kelebihan: diduga kuat berasal dari tanah-tanah objek landreform (tanah Suguan/KRPT) yang telah dibagikan kepada masyarakat, tetapi dikuasai kembali secara sepihak oleh PTPN II.
  •  Manipulasi administratif: PTPN II diduga melakukan manipulasi dalam pengajuan perpanjangan HGU, termasuk mengajukan luas tanah yang telah dialihkan ke pihak ketiga seolah-olah masih utuh, dan adanya keanehan hasil pengukuran ulang yang membuat luas sertipikat bertambah.
  • Intimidasi: PTPN II diduga memutar-balikkan fakta dengan menganggap petani sebagai penyerobot dan melakukan intimidasi.

Temuan utama, adanya ketidaksesuaian dalam penguasaan tanah. Perlunya penertiban administrasi pertanahan. Dan pentingnya kepastian hukum bagi masyarakat.

Rekomendasi kunci Pansus DPR tahun 2004 adalah:

  1. BPN diminta meneliti ulang seluruh proses HGU PTPN II dan mencabut HGU yang tumpang tindih dengan tanah rakyat.
  2. PTPN II yang membutuhkan tanah milik rakyat harus membayar ganti rugi.
  3. BPN diminta melaporkan setiap pengalihan HGU tanpa hak yang merugikan negara.
  4. Kepolisian diminta melakukan tindakan hukum.

Rekomendasi Pansus ini belum pernah dicabut atau dibatalkan hingga kini, sehingga masih relevan sebagai bahan pertimbangan kebijakan. Sayangnya DPR kerap lupa atau mungkin tidak menganggap penting. Birokrat juga abai terhadap putusan Pansus seakan tidak perlu dihormati. Untung Kejaksaan Agung melalui Kejati Sumut menyidik harapan Pansus DPR itu. Sekarang yang dipansuskan DPR itu sudah dijerat Tipikor. Yang belum dilakukan adalah memberi rasa adil kepada para masyarakat penggarap!

Temuan BPK adalah pola yang berulang

Sejak 2008 sampai 2023 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK berdasarkan telaah LHP atas pengelolaan tanah negara teridentifikasi beberapa pola pelanggaran besar:

  1. LHP BPK tahun 2008, temuanya adalah penguasaan tanah 2.150 ha eks HGU oleh pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas.
  2. LHP BPK tahun 2016, temuan: Pengelolaan aset yang tidak optimal seluas 1.500 ha disewakan diam-diam, nilai ekonomi Rp1,8 triliun.
  3.  LHP BPK tahun 2021 memiliki temuan inefisiensi pengelolaan tanah 1.243 ha HGU aktif mangkrak tanpa kontribusi PAD.
  4.  LHP BPK tahun 2023 temuan: Mekanisme pengalihan hak atas tanah tanpa tender, potensi kerugian negara Rp3,4 triliun per tahun.

Temuan-temua. BPK menunjukkan pentingnya perbaikan sistem pengelolaan tanah negara!

Realitas penyusutan penguasaan tamah

Data terkini penguasaan tanah, berdasarkan data terbaru dari berbagai sumber, sebaran penguasaan tanah oleh perkebunan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *