Tanah Negara yang Hilang: Dari 250.000 Jadi 5.873 Hektare di Sumut, Jejak Korupsi Terbesar Indonesia

Iskandar Sitorus. (Ist)
  1. Kabupaten Deli Serdang: 2.930 hektare.
  2. Kota Medan: 1.230 hektare.
  3.  Kabupaten Langkat: 933 hektare.
  4. Kota Binjai: 780 hektare

Total: 5.873 hektare. Perlu dilakukan penelusuran komprehensif untuk memetakan perkembangan penguasaan tanah dari masa ke masa, agar publik bisa mempercayainya.

Contoh perilaku jahat birokrat di Pemkab Deli Serdang sampai hari ini yang melakukan modus kejahatan seperti diduga Pansus DPR, untuk bisa membantu Kejati Sumut mengembalikan rasa adil bagi masyarakat penggarap:

1. Bukti dari sisi administratif terlihat dari dokumen sertipikat HGU PTPN II yang disebut areanya di Tanjung Morawa merupakan perwujudan dari masalah yang diungkap pada butir 20.f Pansus DPR. Dan semakin dipertegas dari surat Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan tanggal 02 November 2020 nomor: 640/3613 ditujukan kepada Direktur PT Perkebunan Nusantara II. Perihal surat itu adalah Persetujuan Prinsip Pengembangan Proyek Tanjung Morawa Kota Deli Megapolitan. Surat itu sebut Bupati menindaklanjuti surat sebelumnya nomor : 640/3327 tanggal 6 Oktober 2020 perihal : Dukungan, sehubungan dengan surat PT Perkebunan Nusantara II nomor : Dir/X/260/IX/2020 tanggal 8 September 2020 perihal Permohonan Izin Prinsip. Sekarang ini Ashari Tambunan sudah disidik Kejati Sumut.

Uniknya, penerbitan beberapa dokumen (misalnya yang bertanggal 20-06-2003) diterbitkan setelah Pansus DPR mulai menyelidiki hal itu tahun 2002-2003 sebelum rekomendasi final tahun 2004. Itu mengindikasi proses penerbitan HGU terus berjalan meskipun masalahnya sudah teridentifikasi DPR. Lalu, surat Bupati Deli Serdang tahun 2020 menunjukkan terjadi perubahan fungsi lahan dari perkebunan menjadi proyek kota megapolitan yakni Kota Deli Megapolitan. Itu terlihat kasat mata sudah menabrak regulasi. Perubahan fungsi pada lahan HGU diduga bermasalah berpotensi meningkatkan nilai ekonomis lahan secara signifikan, yang bisa menjadi motif dalam dugaan korupsi.

2. Eskalasi masuk ke ranah hukum pidana terlihat dari surat undangan Polda Sumut nomor : B/405/IX/RES.1.24/2025/Ditreskrimsus 30 September 2025 perihal Permintaan Keterangan kepada seorang warga penggarap bernama Sugiono. Itu justru perkembangan terbaru dan logis dari rekomendasi Pansus DPR 21 tahun yang lalu. Undangan tersebut berdasar surat perintah Penyelidikan nomor : SP.Lidik/275.a/VIII/2025/Ditreskrimsus, tanggal 25 Agustus 2025 dan surat perintah Tugas nomor : SP.Gas/978.a/VIII/2025/Ditreskrimsus, tanggal 25 Agustus 2025. Idealnya Kejati Sumut mensupervisi penyelidikan itu.

3. Maka Polda harus sesegera memeriksa Pemkab Deli Serdang, karena, pengakuan sudah membayar ke PTPN II berkorelasi langsung dengan temuan Pansus DPR. Itu sebenarnya makna penyelidikan oleh Polda Sumut sebab:
a. Ganti rugi aset negara berupa lahan bekas HGU yang diklaim oleh Pemkab Deli Serdang sesuai materi laporan informasi (LI) nomor : R/LI/246/VII/2025/Ditreskrimsus, tanggal 31 Juli 2025, sehingga menyebut aset bekas HGU milik Pemkab digarap Sugiono. Klaim itu harus disidik karena sangat mungkin terkait dengan pengalihan HGU PTPN II ke pihak ketiga (seperti yang diuraikan Pansus di Butir 17 dan 19, dimana diduga terjadi mark-up, under-value, atau pembayaran ganti rugi fiktif yang merugikan negara.
b. Penggelapan atas keuntungan atau pendapatan (devisa) negara / perusahaan BUMN”. Ini bisa terkait dengan pendapatan dari pengalihan lahan atau dari usaha di atas lahan yang diduga melebihi HGU yang sah, yang tidak disetor ke negara.
c. Tanggal 4 Agustus 2023 saat Sugiono diundang di,ruangan rapat Seketaris Daerah Kabupaten Deli serdang untuk membicarakan tanah yang digarapnya. Pihak Pemkab mengeklaim bawah telah membayar aset itu ke negara, dan tanggal 30 september 2025 Penyeldik Polda menyatakan bahwa Pemkab telah membayar SPS ke negara. Penyelidik minta surat garapan Sugiono. Dan tanggal 20 Oktober 2025 pihak Pemkab memaksa masuk ke lokasi usaha garapan karena mereka kaim miliknya tapi tidak diberi masuk, akhirnya Pemkab pulang.

Surat dari Polda Sumut adalah babak baru yang krusial dalam upaya menuntaskan masalah yang telah berakar puluhan tahun ini. Terlebih didalam surat disebut bahwa Penyelidik Unit 4 Subdit 2 Ditreskrimsus Polda Sumut sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan oleh oknum PTPN 2 (sekarang PTPN II Regional 1 Tanjung Morawa) terkait proses ganti rugi aset negara berupa lahan bekas HGU serta penggelapan atas keuntungan atau pendapatan (devisa) negara / perusahaan BUMN yang tidak disetorkan atau dialihkan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dan / atau Pasal 372 KUHPidana.

Sebuah siklus pelanggaran sistemik

Terjadi siklus dimulai dari penguasaan sepihak PTPN II atas tanah rakyat, yang kemudian dilegitimasi secara administratif melalui penerbitan sertipikat HGU (yang diduga manipulatif), dan akhirnya dikomersialkan (dialihkan/diubah fungsi) dengan cara-cara yang sekarang diduga sebagai tindak pidana korupsi.

Kegagalan pengawasan atas rekomendasi Pansus DPR RI 2004 yang tidak ditindaklanjuti secara efektif oleh BPN dan instansi terkait selama dua dekade telah membiarkan potensi kerugian negara dan pelanggaran hak masyarakat terus berlangsung.

Eskalasi akhir berupa tekanan hukum akhirnya muncul, didorong oleh temuan lama yang belum tuntas. Kasus ini bukan lagi sekadar sengketa perdata antara petani dan perusahaan, tetapi telah berubah menjadi perkara pidana korupsi yang melibatkan aset BUMN dan diduga melibatkan penyalahgunaan wewenang.

Rekomendasi tindak lanjut untuk Poldasu

  1. Lacak seluruh alur pengalihan HGU PTPN II ke pihak ketiga, khususnya yang disebut dalam laporan Pansus.
  2. Meminta BPK mengaudit proses ganti rugi dan nilai transaksi pengalihan tersebut untuk menemukan indikasi kerugian negara.
  3. Memeriksa keterkaitan proyek Kota Deli Megapolitan dengan lahan-lahan HGU yang diduga bermasalah.

Pengembangan penegakan hukum terkini

Proses hukum yang berjalan saat ini berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah:

1. Terdapat proses-proses hukum yang sedang berjalan terkait pengelolaan tanah.

2. Berbagai pihak terkait sedang memberikan perhatian pada masalah ini.

3. Diperlukan koordinasi antar lembaga untuk penyelesaian yang komprehensif

Proses hukum yang sedang berjalan, utamanya di Kejati Sumut menunjukkan komitmen untuk menata pengelolaan tanah negara. Kita tentu perlu untuk memberi dukungan agar hal itu maksimal terwujud.

Reforma agratia antara harapan dan tantangan

Sejak Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) belum terlihat nyata berupaya melakukan penataan sesuai dengan mekanisme yang seharusnya. Tantangan implementasi terhadap hal itu karena:

  1. Koordinasi data antara instansi sangat minim.
  2. Sinkronisasi kebijakan belum dilakukan.
  3. Optimalisasi mekanisme redistribusi belum diwujudkan.

Padahal GTRA merupakan langkah positif yang perlu didukung dengan koordinasi yang lebih baik.

Rekomendasi untuk penyelesaian yang berkeadilan

Berdasarkan analisis komprehensif di atas, maka:

1. Optimalisasi proses hukum yang sedang berjalan.
2. Koordinasi antar lembaga penegak hukum.
3. Transparansi proses kepada publik.
4. Dilaksanakan mekanisme GTRA.

Untuk kebijakan publik:

1. Implementasi rekomendasi existing.
2. Sinkronisasi data dan kebijakan.
3. Partisipasi publik dalam pengawasan.
4. Transparansi pengelolaan aset.
5. Akuntabilitas kepada publik.
6. Perbaikan sistem administrasi.

Strategi penyelesaian berbasis hukum

Pendekatan komprehensif:

  1. Penegakan hukum: dengan mengoptimalkan proses hukum existing.
  2. Reformasi administratif: menperbaikan sistem pengelolaan tanah dengan penekanan GTRA untuk sepuruh tanah negara eks HGU.
  3. Partisipasi publik: Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan.
  4. Koordinasi lintas lembaga sebagai sinergi antar pemangku kepentingan.

Menuju pengelolaan tanah yang berkeadilan

Masalah pengelolaan tanah negara merupakan persoalan kompleks yang membutuhkan:

  • Komitmen semua pemangku kepentingan
  • Koordinasi yang efektif antar lembaga
  • Transparansi dalam proses pengambilan keputusan
  • Partisipasi masyarakat dalam pengawasan

“Kita memiliki kerangka hukum dan institusi yang memadai. Tinggal bagaimana kita mengoptimalkannya untuk mewujudkan pengelolaan tanah negara yang adil dan bermanfaat bagi seluruh rakyat,”

“Dengan belajar dari pengalaman masa lalu, mari kita bangun sistem pengelolaan tanah yang lebih baik untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.”

Exit mobile version