Oleh: Iskandar Sitorus – Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Jika tanah bisa bersuara maka lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di Sumatera Utara akan menjerit histeris. Dari warisan kolonial seluas 250.000 hektare, itu setara 3,5 kali luas DKI Jakarta, kini hanya tersisa 5.873 hektare yang tercatat resmi. 97,6% tanah negara lenyap. Ini bukan kelalaian biasa, tapi pola sistematis yang perlu diusut tuntas.
Warisan beracun dari masa kolonial 1870-1942
Warisan Kolonial: Tambang Emas Tembakau Deli
Kisah ini dimulai pada 1870, saat Agrarische Wet membuka jalan bagi Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij menguasai tanah-tanah terbaik Sumatera Timur. Perusahaan Belanda itu mengelola 250.000 hektare tanah di antara Sungai Ular (Deli Serdang) hingga Sungai Wampu (Langkat). Inilah masa keemasan tembakau Deli, dijuluki “emas coklat” dunia.
Dengan payung Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria Belanda 1870), mereka mengubah hamparan hijau menjadi “tambang emas” tembakau terbaik dunia. Agrarische Wet 1870 adalah landasan hukum konsesi tanah era kolonial. Boschordonnantie 1932 merupakan peraturan kehutanan kolonial. Peta konsesi Deli Maatschappij tahun 1925 menunjukkan penguasaan 250.000 hektare
Tapi sejak perang dunia hingga kemerdekaan, lahan itu terbengkalai dan digarap rakyat untuk pangan. Setelah nasionalisasi berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958, aset-aset Belanda itu seharusnya jadi milik negara untuk rakyat.
Tanah-tanah itu seharusnya menjadi warisan berharga untuk rakyat Indonesia merdeka.
Transisi nasionalisasi dan redistribusi 1951-1975
Pasca kemerdekaan, melalui Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, aset-aset kolonial seharusnya dikembalikan kepada rakyat berdasar:
- Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Agr.12/5/14 tanggal 28 Juni 1951 yang isi membatasi konsesi perkebunan 125.000 hektar. Sisanya, ±125.000 hektare, wajib dikembalikan kepada negara untuk redistribusi tanah rakyat. Itu bisa dilihat di arsip Kanwil BPN Sumatera Utara.
- Langkah ini diperkuat oleh Ketetapan Gubernur Sumut No. 36/K/Agr/1951, yang membentuk Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah untuk membagi tanah itu melalui SKTPPT (Surat Keterangan Pembagian dan Penerimaan Tanah) dan KRPT/KTPPT (Kartu Pendaftaran Pemakai Tanah).
Sebanyak 191.000 hektare resmi jadi objek landreform. - Surat Keputusan Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 tanggal 10 Juni 1965, isinya penetapan HGU untuk PPN Tembakau Deli seluas ±59.000 hektare. Namun, dalam praktiknya, perusahaan perkebunan yang sudah dinasionalisasi, PPN Tembakau Deli, kelak PTPN II, tetap menguasai tanah-tanah itu dengan dalih keamanan dan efisiensi produksi.
Keputusan Menteri Agraria yang dilanggar
Pada 10 Juni 1965, keluar SK Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 yang menegaskan:
- PPN Tembakau Deli hanya berhak atas ±59.000 hektare untuk tanaman tembakau.
- Sisa ±191.000 hektare wajib menjadi objek landreform.
Namun, realitas di lapangan berbeda. Operasi “pembersihan garapan” dilakukan dengan dalih keamanan. Ribuan petani diusir, pilar batas dipindahkan sepihak oleh pihak perkebunan, dan tanah redistribusi diambil kembali oleh BUMN.
Tim penelitian Pilar Batas malah menemukan:
- Pilar dipasang di atas tanah rakyat.
- Perkampungan lama dianggap garapan liar.
- Terdapat ±7.000 hektare pertanian rakyat yang dihapus begitu saja.
Temuan pentingnya, berdasarkan laporan Tim penelitian Pilar Batas di tahun 1973 yang tersimpan di arsip KanWil BPN Sumut, teridentifikasi banyak ketidaksesuaian dalam penataan batas tanah.
Putusan penting Mahkamah Agung yang menegaskan prinsip HGU
- Putusan MA No. 327 K/Sip/1976 dimana para pihak adalah PT Perkebunan IX vs Pemerintah Daerah Sumatera Utara, prinsip putusannya adalah pembatasan perluasan HGU.
- Putusan MA No. 800 K/Sip/1983 dengan para pihak PTPN II vs Kelompok Masyarakat Penggarap, prinsip putusannya tentang pengaturan tanah bekas konsesi
- Putusan MA No. 342 K/Sip/1985 para pihaknya: Koperasi Tani Bersama vs PTPN II dengan prinsip putusannya, status tanah eks HGU yang habis masa berlaku. Ini menegaskan bahwa bila tanah HGU telah berakhir, maka objek perdata tersebut kehilangan objek karena tanah kembali menjadi negara.
- Putusan MA No. 1261 K/Pdt/2006 menolak permohonan eksekusi karena objek sengketa telah kembali ke negara setelah masa HGU habis.
- Putusan MA No. 307 K/TUN/2011 menyatakan bahwa perpanjangan HGU harus melalui prosedur administratif di BPN dan tidak otomatis akibat putusan pengadilan.
Selama setengah abad, MA bersuara untuk rakyat. Tapi pemerintah berpura-pura tuli. Putusan-putusan itu menegaskan prinsip hukum yang konsisten tentang pengelolaan tanah negara.
1981–1997 HGU melebar, tanah rakyat hilang
Berdasarkan SK Mendagri No. 44/DJA/1981 dan No. 85/DJA/1984, seluas 9.085 hektare + 1.229 hektare ditetapkan kembali sebagai objek landreform. Dengan demikian, luas HGU PTPN II seharusnya tinggal 48.685 hektare.
Namun, dalam surat resmi Dirut PTPN II tahun 1997, disebutkan sudah terjadi pengalihan tanah 5.569 hektare ke pihak ketiga. Mudah sekali mereka mengalihkan tanah negara tersebut! Ironisnya, pada waktu yang sama, PTPN II malah mengajukan permohonan HGU baru seluas 59.796 hektare, itu berarti kelebihan 16.680 hektare dibanding batas yang sah.
BPN Sumut bahkan menemukan kelebihan 61.382 hektare yang diduga berasal dari tanah-tanah redistribusi milik rakyat! Dengan kata lain, PTPN II menguasai lebih dari dua kali lipat tanah yang seharusnya.
Temuan Pansus DPR RI tahun 2004
Berdasarkan Keputusan Pansus DPR RI No. 016/RKM/PANSUS TANAH/DPR-RI/2004, teridentifikasi beberapa pokok permasalahan. Akar masalah historis terlihat dari keputusan Pansus DPR RI yang bisa memberikan peta sangat jelas tentang akar konflik yang berlangsung puluhan tahun:
1. Asal-usul tanah: berasal dari konsesi era kolonial Belanda (NV Van Deli Matschappy) seluas ±250.000 Ha.
