Kutukan Konstitusi Palsu

Prof.Yudhie Haryono (Foto: Ist)

Oleh: Yudhie Haryono

Penulis: Presidium Forum Negarawa

Apa warisan terbesar konstitusi palsu? Kemiskinan rakyat yang meruyak. Bank Dunia (WB) per April 2025 menyebut Indonesia menempati peringkat keempat dalam daftar negara dengan persentase penduduk miskin terbanyak, yaitu 60,3%. Hal ini terungkap dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Itu artinya, 2 dari 3 orang Indonesia berada dalam garis kemiskinan.

Kini total kaum miskin kita sebanyak 194,4 juta jiwa. Kita menjadi produsen kaum miskin terbesar ke dua di dunia setelah Zimbabwe yang punya 84.2%. Sungguh angka yang mencengangkan. Sungguh prestasi yang memilukan dan memalukan.

Aktifis Andisyah (2025) menyebut dengan satir, “kita menikmati nestspa negeri kaya tapi miskin.” Kenapa republik ini punya kekayaan melimpah tapi rakyatnya hidup miskin? Tentu ini keadaan buruk sehingga generasi saat ini tak lagi mampu berbuat banyak untuk mewariskan kekayaan bagi generasi berikutnya.

Andisyah menjawabnya dengan hipotesa bahwa, “kondisi negara kaya SDA tidak selalu menghasilkan ekonomi maju disebabkan oleh “kutukan sumber daya alam” atau “resource curse.” Di samping juga karena kutukan para pemimpin terkutuk dengan mentalitas buruk dan bikin ambruk.

Ada dua faktor penyebabnya: Pertama, kekayaan alam dirampok oligarki karena penguasa obral konsesi dengan murah-meriah. Situasi ini terjadi lantaran kebijakan SDA memang sengaja dirancang bagi kepentingan oligarki;

Kedua, SDA kita sering kali menjadi sumber kekayaan yang terpusat di tangan sedikit orang atau oligarki sehingga menimbulkan ketidakadilan. Situasi di atas membuka celah praktik KKN melalui penggelapan pajak mineral akibat kongkalingkong penguasa dengan oligarki sehingga merugikan pendapatan negara yang diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat.

Tentu, dua faktor itu disebabkan oleh sumber perundangan yang ultra liberal dan tafsir yang tak bermoral. Sumber perundangan itu adalah konstitusi baru yang palsu (UUD 45 hasil amandemen). Jika di masa sebelumnya hanya tafsirnya yang tak bermoral, kini (setelah 2002) sumber rujukannya juga ultra liberal.

Corak konstitusi asli yang semi presidensil dan semi parlementer (hibrida), diganti menjadi presidensil murni. Kita tahu bahwa dalam sistem itu ditemukan “cacat bawaan presidensil berupa: cacat individual, cacat kelamin, cacat teritorial, cacat suku, cacat agama.” Maksudnya, karena ia presiden dengan janjinya maka hal utama yang ia perhatikan adalah kepentingan dirinya, kepentingan yang sama kelaminnya, sama asalnya, sama sukunya, sama agamanya sejak mula merekrut team sukses dan kabinetnya.

Akhirnya, banyak UU sebagai tafsir terhadap konstitusi ultra liberal menjadi lebih berbau presidensil yang individualistik: mengembalikan modal, mengikuti investor, memuja pasar, mengimani road map oligarki.

Ratusan IUP (Izin Usaha Pertambangan) tumbuh dan lahirlah tambang-tambang SDA di mana nanti terbukti memiskinkan warga sekitar tambang, tetapi mangkayakan elite (kita punya raja batu bara, raja nikel, raja emas dll), dan sialnya tidak banyak menyumbang APBN. Banyak riset kependudukan memberitahu bahwa salah satu kantong kaum miskin adalah wilayah pertambangan.

Karena cacat bawaan itulah para pendiri republik mengkonsepsi sistem majlis, di mana porosnya ada pada sila Persatuan Indonesia. Ia bagai “Holopis Kuntul Baris atau Gotong Royong, atau Saiyeg Saeka Praya yang artinya seiya sekata.” Dus, gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.

Karenanya, tidak ada warga negara-bangsa ini yang akan tertinggal dalam segala aspek kehidupannya. Semua memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk sentosa dan bermartabat di semesta.

Kita tahu bahwa MPR pra-amandemen UUD 45 adalah MPR yang dibentuk dengan pemaknaan yang mendalam akan arti Persatuan Indonesia. Sebagai sebuah negara yang dihuni berbagai macam suku bangsa, ras, dan agama, maka Indonesia harus memiliki sebuah wadah yang inklusif dalam struktur politiknya. Keanekaragaman suku, ras, agama dan profesi bangsa Indonesia ini mengharuskan adanya pendekatan khusus dalam membentuk struktur politik.

Kita bisa menyebutnya dengan hybrid system, yaitu struktur politik yang merupakan pengejawantahan dari seluruh elemen kebangsaan yang kemudian menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelum UUD 45 diamandemen, anggota MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan.

Komposisi MPR yang demikian itu menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 45 dimaksudkan supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam majelis, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat (Widayati, 2015: 198).

Dalam struktur politik Indonesia saat itu, MPR ibarat komisaris sebuah perusahaan. Di mana mereka memiliki kekuasaan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan Presiden sebagai mandatarisnya. Sebagai mandataris MPR, maka tugas dan kewajiban Presiden adalah melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh MPR. Inilah yang menjadi poros pembangunan nasional. Inilah yang harus dilaksanan dengan sebaik-baiknya oleh Presiden, bukan janji-janji kampanye.

Namun sekarang, dengan masuknya paham demokrasi ultra liberal yang menitikberatkan kepada faktor individu dan kapital, maka posisi MPR saat ini telah dikebiri hingga menjadi sama dengan lembaga tinggi negara lainnya. Ditambah lagi dengan sistem pemilu langsung, maka Presiden dipilih berdasarkan faktor elektabilitas semata. Semakin populer berarti semakin layak pilih. Padahal kita tahu bahwa popularitas meniscayakan pergerakan kapital di belakangnya.

Semakin banyak kapital yang dimiliki, semakin populer seorang calon presiden, maka semakin besar peluangnya untuk menang. Tidak ada perang gagasan di sini. Hanya kapital yang menentukan. Inilah gejala dari datangnya masa degeneratif kepemimpinan di negeri kita. Seorang Presiden hanya menjalankan janji-janji kampanyenya (karena tidak ada GBHN). Itupun terbata-bata karena cacat bawaan yang terkandung dalam sitem itu. Maka, lahirlah kutukan konstitusi baru yang kini kita nikmati bersama.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *