Green Collateral Sebagai Manifestasi Kesaktian Pancasila dalam Ekonomi

1 Oktober itu hari kesaktian Pancasila. Apa iya Pancasila masih sakti? Masih. Sebab, beberapa kali mau diganti, ternyata gagal. Lalu, apa bentuk kesaktiannya kini? Mari kita temukan dan praktikkan nanti. Tentu, pada peringatan hari kesaktian Pancasila kali ini, kita tidak sedang berbicara ideologi negara dalam makna abstrak, tetapi menegaskan sistem ekonomi paling rasional yang menguntungkan semua pihak: ekonomi Pancasila.

Sistem ini dihadirkan untuk menolak logika liberalisme yang menjadikan warga negara sebagai objek pasar, sekaligus menghindari etatisme yang mencekik inisiatif dan inovasi. Karenanya, ekonomi Pancasila berdiri di atas prinsip gotong royong, kehikmatan, dan kepemilikan/kekayaan/kesejahteraan/kesentosaan bersama. Dalam kerangka itu, kita bisa memunculkan gagasan green collateral, bukan sebagai produk finansial asing, melainkan sebagai penegasan bahwa rempah dan herbal adalah aset hijau Nusantara yang dapat dijadikan jaminan kedaulatan ekonomi bangsa.

Green collateral di sini dimaknai sebagai jaminan ekonomi hijau berbasis rempah dan herbal. Rempah dan herbal adalah DNA asli Nusantara yang sejak berabad-abad lalu telah menjadi rebutan imperium global. Kini, jika dikelola dengan paradigma ekonomi Pancasila, ia dapat menjadi jaminan strategis dalam pembiayaan pembangunan, menggantikan ketergantungan pada utang luar negeri, serta membebaskan Presiden jadi pengemis yang berputar-putar cari bantuan ke seluruh dunia. Dengan kata lain, rempah dan herbal bukan hanya komoditas dagang, melainkan instrumen keuangan, alat kedaulatan serta sumber baru kemartabatan negara.

Di sini, ekonomi Pancasila mendasari kesaktian Pancasila serta mengkreasi kedaulatan warga-negara menjadi relevan karena nilai-nilainya memberi arah bahwa bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran warga negara. Inilah aset dan kekayaan strategis yang harus dimiliki, dikuasasi dan menjadi produk strategis bahkan modal perang (dagang) bagi kita semua.

Rempah dan herbal adalah perwujudan pasal 33 UUD 1945 yang selama ini diabaikan dalam kerangka pembangunan nasional. Jika rempah dan herbal dijadikan green collateral, maka kita tidak lagi berbicara tentang tanah yang digadaikan ke asing, melainkan tanah warga negara yang menjadi basis produksi dan sumber daya yang menyejahterakan; kekayaan yang memberkati; kapital yang menyentosakan.

Dengan menjadikan rempah dan herbal sebagai green collateral, negara mengembalikan kedaulatan ekonomi pada jalurnya. Rempah bukan sekadar bahan ekspor, herbal bukan sekadar komoditas kesehatan, tetapi keduanya adalah jaminan strategis yang berdiri di atas tanah warga negara sendiri.

Konsep ini pastilah alternatif karena jenius dan menolak praktik neoliberalisme yang menjadikan utang dan privatisasi sebagai jalan tunggal pembangunan. Sebaliknya, green collateral adalah bukti bahwa bangsa ini masih punya modal asli untuk bangkit mandiri; modal azali untuk berdaulat dan memimpin peradaban.

Secara praktis, penguatan rempah dan herbal sebagai green collateral dapat diwujudkan melalui sistem pembiayaan hijau berbasis koperasi dan BUMN strategis. Obligasi hijau berbasis rempah, dana abadi herbal, atau bahkan cadangan devisa yang disandarkan pada komoditas ini akan memberi ruang fiskal yang lebih sehat. Instrumen ini akan membuat Indonesia tidak perlu lagi tergantung pada utang luar negeri yang selama ini menjadi jebakan kolonialisme gaya baru.

Secara geopolitik, green collateral berbasis rempah dan herbal juga memperkuat posisi Indonesia di tengah pergeseran ekonomi dunia. Ketika dunia sedang mencari alternatif energi, pangan, dan kesehatan yang berkelanjutan, Nusantara justru memiliki modal sejarah dan kekayaan hayati yang telah terbukti nilainya sejak abad kolonial. Dengan menegaskan green collateral sebagai strategi nasional, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga bisa mengendalikan arah perdagangan global.

Lebih jauh, jika rempah dan herbal dikelola oleh suatu badan negara khusus, maka posisinya tidak hanya sebatas memenuhi standar kualitas dunia, tetapi dapat naik kelas menjadi barometer rempah dan herbal global. Indonesia memiliki modal historis, geografis, dan biodiversitas untuk tampil sebagai megabio nation—pusat referensi dunia dalam tata kelola, kualitas, dan perdagangan rempah-herbal.

Dengan badan khusus itu, Indonesia bukan sekadar pemasok bahan mentah, melainkan pemegang kendali dalam menentukan harga, standar, dan arah pasar internasional. Inilah bentuk kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya: berdiri di atas kekuatan hayati tanah sendiri, sambil berdaulat mengatur pasar dunia.

Karena itu, penerapan Warehouse Receipt System (WRS) pada komoditas rempah dan herbal di Indonesia menjadi langkah strategis untuk memperkuat kedaulatan ekonomi. Dengan skema ini, petani dan pelaku usaha tidak lagi terjebak dalam praktik jual cepat dengan harga rendah saat panen raya. Mereka dapat menyimpan hasil panen di gudang bersertifikat, memperoleh resi yang diakui bank sebagai jaminan pembiayaan, serta menunda penjualan hingga harga di pasar global lebih menguntungkan.

Sistem ini akan diawasi langsung oleh badan negara khusus yang menangani herbal dan rempah, yang terintegrasi langsung dengan bursa komoditas, sehingga mekanisme perdagangan berjalan transparan. Dengan demikian, rempah dan herbal Nusantara tidak hanya memenuhi standar internasional, tetapi juga membuka akses ke perdagangan berjangka dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat megabiodiversity sekaligus barometer harga rempah dan herbal dunia.

Akhirnya, kesaktian Pancasila hanya akan bermakna jika diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret. Menjadikan rempah dan herbal sebagai green collateral adalah langkah strategis yang meneguhkan bahwa kedaulatan ekonomi bukanlah utopia, melainkan realitas yang berdiri di atas tanah warga negara.

Inilah kesaktian sejati: menjadikan warisan Nusantara sebagai pilar ekonomi hijau, berkeadilan, dan berkelanjutan, serta memperkuat landasan hukum melalui Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUU-PNKS) sebagai instrumen negara untuk memastikan Pancasila benar-benar hadir dalam sistem ekonomi Indonesia. Kini bukan nanti. Ayok segera realisasikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *