JAKARTA, Mediakarya . Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, sekaligus Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, menatap ekonomi Indonesia bukan sebagai tumpukan angka yang dingin, melainkan sebagai denyut nadi sebuah bangsa yang sedang menempuh jalan panjang menuju martabat. Dalam setiap perdebatan tentang utang negara, ia memilih ketenangan yang bersandar pada data, kejujuran yang bertumpu pada akal sehat, dan keyakinan yang berakar pada konstitusi. Baginya, kedaulatan ekonomi tidak lahir dari kepanikan atau euforia sesaat, melainkan dari dua sumbu yang harus berputar serempak: disiplin fiskal dan optimisme ekonomi. Bila sumbu pertama menjaga akal negara, sumbu kedua menjaga jantung rakyat. Dan ketika keduanya berputar pada poros amanat Pasal 33 UUD 1945, bangsa ini tidak hanya bertahan, bangsa ini maju dengan kepala tegak.
Bagi Haidar Alwi, kekuatan sebuah bangsa tidak diukur dari kecilnya utang, tetapi dari besar dan jujurnya niat mengelola utang itu untuk kesejahteraan rakyat. Negara tidak berutang karena lemah, tetapi karena sedang memperluas kapasitasnya. Ia menolak logika yang menyamakan negara dengan rumah tangga. *“Negara tidak menambah utang untuk bertahan hidup, tetapi untuk membangun masa depan. Bedanya adalah visi,” kata Haidar Alwi.
Pandangan itu sejalan dengan data terbaru Kementerian Keuangan per Oktober 2025: total utang pemerintah mencapai Rp10.269 triliun dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,8 – 40 persen, jauh di bawah ambang batas aman 60 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit APBN 2025 tercatat 2,4 persen, sementara pertumbuhan ekonomi tetap stabil di sekitar 5,2 persen. Komposisi utang pun sehat, dengan 89 persen berupa Surat Berharga Negara domestik dan hanya 11 persen pinjaman luar negeri jangka panjang.
“Angka-angka ini bukan alarm bahaya, melainkan penanda kestabilan. Negara yang disiplin akan selalu punya ruang untuk tumbuh,” tegas Haidar Alwi.
Disiplin Fiskal Menjaga Akal Negara
Dalam pandangan Haidar Alwi, disiplin fiskal adalah bentuk kecerdasan bangsa dalam menjaga arah pembangunan. Haidar Alwi menekankan bahwa disiplin tidak berarti menahan semua belanja, melainkan menempatkan setiap rupiah agar memberi manfaat maksimal. *“Fiskal itu seperti sistem tenaga nasional, ada batas tekanan dan batas daya. Kalau tekanannya terlalu tinggi, sistem bisa meledak. Tapi kalau terlalu rendah, sistem kehilangan daya dorong,”* ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi kemudian menjelaskan secara sederhana:
Rasio Utang terhadap PDB (Debt to GDP Ratio)
D/P = (Utang Pemerintah / PDB) × 100%
Selama D/P di bawah 60%, ekonomi tetap berada di zona aman. Dengan posisi Indonesia di bawah 40%, artinya kita masih punya ruang sekitar 20 persen PDB atau lebih dari Rp5.000 triliun untuk menambah investasi produktif.
“Rasio utang bukan neraka fiskal, tapi barometer tekanan sistem. Selama tekanannya stabil, mesin negara bekerja dengan tenang,” ujar Haidar Alwi.
Haidar Alwi juga menyebut safe growth zone, sebuah ukuran sederhana untuk menilai keseimbangan antara pertumbuhan dan defisit:
Zona Aman Pertumbuhan (Safe Growth Zone)
(Pertumbuhan Ekonomi – Defisit Anggaran) ≥ 3%
Dengan pertumbuhan 5,2 persen dan defisit 2,4 persen,
Indonesia berada di margin positif 2,8 persen.
“Itu ibarat kapasitas cadangan daya listrik nasional. Selama arusnya masih positif, lampu ekonomi bangsa tidak akan padam,” kata Haidar Alwi.
Bagi Haidar Alwi, disiplin fiskal juga berarti menjaga kredibilitas negara. Rasio yang terkendali dan defisit yang kecil memberi pesan bahwa Indonesia mampu dan mau membayar utangnya.
“Yang dibaca dunia bukan jumlah utangnya, tapi kemauan dan kemampuan kita membayar. Dan dua hal itu dibuktikan oleh disiplin,” jelasnya.
Karena itu, Haidar Alwi mengapresiasi Menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mampu menjaga kepercayaan pasar tanpa kehilangan keberpihakan kepada rakyat.
“Di tengah hiruk pikuk opini, yang dibutuhkan bangsa ini adalah ketenangan yang bersandar pada logika, bukan ketakutan yang bersumber dari gosip,” tegas Haidar Alwi.
Optimisme Ekonomi Menjaga Jantung Rakyat
Namun disiplin saja tidak cukup. Mesin ekonomi yang disiplin tapi kehilangan semangat akan berhenti di tengah jalan. Haidar Alwi menegaskan bahwa optimisme ekonomi adalah denyut kehidupan bangsa. Haidar Alwi menjelaskan hubungan antara keduanya dengan logika sederhana dari dunia teknik elektro:
Rumus Daya Ekonomi (Analogi Teknik Elektro)
P = V × I
P adalah daya ekonomi, V adalah tegangan fiskal (kapasitas keuangan negara), dan I adalah arus belanja produktif.
“Kita butuh keseimbangan antara kekuatan fiskal dan keberanian belanja produktif. Tegangan yang stabil dan arus yang tepat akan menghasilkan energi pertumbuhan,” kata Haidar Alwi.
Optimisme adalah keberanian untuk tetap melangkah di tengah ketidakpastian. Pemerintah perlu menjaga arus belanja agar mengalir ke sektor produktif, pangan, energi, hilirisasi, dan pendidikan vokasional, karena sektor-sektor inilah yang menjadi generator pertumbuhan. Haidar Alwi menegaskan bahwa setiap Rp100 triliun belanja produktif mampu menambah PDB hingga Rp200 triliun, karena efek pengganda (multiplier effect) berada di kisaran 1,5–2. Rumusnya jelas:
Rumus Multiplier Keynesian (Efek Belanja Produktif)
ΔY = k × ΔG
ΔY adalah kenaikan PDB, k adalah fiscal multiplier (sekitar 1,5–2 di Indonesia), dan ΔG adalah kenaikan belanja produktif.
“Utang yang diarahkan ke produksi itu bukan beban, melainkan generator ekonomi. Ia menyalakan lampu-lampu kehidupan rakyat,” ujar Haidar Alwi.
Optimisme juga berarti keyakinan moral bahwa bangsa ini mampu menciptakan nilai dari kerja sendiri. Indonesia memiliki sumber daya, pasar, dan tenaga yang cukup untuk berdiri di atas kaki sendiri.
“Optimisme bukan menutup mata dari masalah, tapi membuka jalan di tengah badai. Selama rakyat dan negara berpegangan, tidak ada kekuatan asing yang bisa memadamkan cahaya kita,” tegas Haidar Alwi.
Kedaulatan Ekonomi dan Amanat Pasal 33.
Pada akhirnya, seluruh arah kebijakan ekonomi harus kembali kepada ruh konstitusi. Haidar Alwi selalu menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar hiasan, melainkan kompas yang memastikan ekonomi berpihak pada rakyat.
“Pasal 33 itu bukan teks akademik, tapi kalimat suci dari pendiri bangsa. Ia mengajarkan keseimbangan antara efisiensi dan keadilan, antara daya saing dan kedaulatan,”* kata Haidar Alwi.
Haidar Alwi lalu menjelaskan prinsip efisiensi nasional:
Rumus Efisiensi Nasional (Ciptaan Haidar Alwi): η = Output Riil / Energi Fiskal
Jika η di atas 0,8, artinya 80 persen dari setiap rupiah APBN telah memberi nilai ekonomi nyata.
“Bangsa berdaulat adalah bangsa yang mampu mengubah energi fiskalnya menjadi kerja rakyat, bukan jadi panas buangan birokrasi,” ujar Haidar Alwi.
Prinsip itu telah diterapkan secara konsisten oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang berani menggabungkan ketegasan fiskal dan keberanian investasi produktif. *“Negara ini sedang membangun peradaban baru. Rasio utang aman, defisit terkendali, tapi arah pembangunan tetap maju. Ini keseimbangan yang tidak semua negara mampu jaga,” ujar Haidar Alwi.
Disiplin fiskal tanpa optimisme hanya melahirkan stagnasi, sementara optimisme tanpa disiplin melahirkan inflasi. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah harmoni keduanya, disiplin sebagai otak, optimisme sebagai jantung, dan Pasal 33 sebagai jiwa. Dari kombinasi itulah lahir kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya.
“Negara ini sedang berlari bukan untuk menyaingi siapa pun, tetapi untuk menjemput nasibnya sendiri,” kata Haidar Alwi.
Haidar Alwi menutup pandangan ekonominya dengan kalimat yang menegaskan seluruh arah pikirannya:
“Bangsa besar bukan yang bebas utang, tetapi yang jujur mengubah utang menjadi kesejahteraan. Selama Pasal 33 menjadi kompas, fiskal kita tak akan tersesat. Disiplin menjaga akal negara, optimisme menjaga jantung rakyat. Dari dua sumbu itulah kedaulatan ekonomi Indonesia berputar,” pungkasnya. **

 
							


