JAKARTA, Mediakarya – Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti persoalan pencatatan aset sitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak sepenuhnya terintegrasi dalam sistem keuangan negara. Ratusan aset rampasan senilai triliunan rupiah yang statusnya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) disebut terjebak dalam lorong administrasi.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, mengatakan, setiap kali KPK menyegel rumah mewah, membuka brankas, atau memamerkan tumpukan uang hasil sitaan, publik seolah melihat negara sedang menang. Kamera menyorot keberhasilan penindakan, dan rasa keadilan pun terpuaskan.
“Namun ada satu adegan yang nyaris tak pernah disiarkan, apa yang terjadi setelah palu hakim diketok dan putusan berkekuatan hukum tetap? Di situlah cerita berubah,” kata Iskandar, dalam keterangan pers, Senin (29/12/2025).
Lebih lanjut, dia mengatakan, negara yang gagah saat menyita, sering kali tampak gamang saat harus mengelola. Harta rampasan yang seharusnya kembali menjadi kekayaan negara justru masuk ke lorong gelap administrasi, yaitu tidak hilang, tetapi juga tidak sepenuhnya hadir dalam sistem keuangan negara.
Selama dua dekade berdiri, kata Iskandar, KPK dikenal sebagai mesin penindakan yang efektif. Berdasarkan laporan tahunan dan rilis kinerja resmi lembaga tersebut, nilai aset hasil penyitaan dan perampasan dalam perkara korupsi mencapai triliunan rupiah, terutama dalam lima tahun terakhir.
“Kasus-kasus besar menjadi contoh. Seperti perkara gratifikasi kepala daerah dengan ratusan miliar rupiah yang disita, penyitaan aset tanah, bangunan, hingga rekening terkait perkara pajak dan perbankan, serta aset-aset bernilai strategis yang kemudian diserahkan kepada lembaga lain,” paparnya.
Namun, kata Iskandar, problemnya bukan pada penyitaan. Problemnya muncul setelah status hukum aset tersebut inkracht. Dalam beberapa paparan resmi, KPK mengakui masih terdapat ratusan aset hasil rampasan yang secara hukum telah diputus pengadilan, tetapi belum sepenuhnya terselesaikan dari sisi pengelolaan dan pencatatan negara.
“Aset-aset ini, dominan berupa tanah dan bangunan, telah bertahun-tahun berada dalam status menunggu kejelasan. Mereka bukan lagi barang bukti. Tetapi juga belum sepenuhnya menjadi kekayaan negara yang hidup dalam neraca,” ujarnya.
Untuk mencegah aset terbengkalai, lanjut Iskandar, KPK menempuh berbagai jalan praktis, yakni penetapan status penggunaan kepada kementerian/lembaga,
hibah kepada pemerintah daerah, hingga kerja sama operasional dengan BUMN.
“Secara niat, langkah ini patut diapresiasi. Negara tidak dirugikan secara fisik karena aset dimanfaatkan. Namun secara sistem keuangan negara, di sinilah persoalan menganga,” katanya.
Iskandar juga menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga penegak hukum yang tidak dirancang oleh undang-undang sebagai pengelola kekayaan negara. Ketika KPK melakukan hibah atau penyerahan, itu dilakukan dalam ruang abu-abu hukum, yakni sah secara kebutuhan praktis, tetapi tidak sepenuhnya terintegrasi dalam rezim akuntansi Barang Milik Negara (BMN).
“Akibatnya, negara memiliki aset yang digunakan, tetapi tidak selalu tercermin utuh dalam sistem pencatatan DJKN. Negara seperti menerima warisan, tetapi lupa mencatatnya di buku besar,” paparnya.
Dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), lanjut Iskandar, Badan Pemeriksa Keuangan berulang kali menyoroti persoalan klasik yang sama pada aset hasil rampasan tindak pidana, yaitu keterlambatan atau ketidaklengkapan pencatatan aset rampasan sebagai BMN, tidak adanya basis data nasional terintegrasi antar penegak hukum dan pengelola keuangan negara, penyusutan nilai aset akibat pengelolaan yang lambat, lemahnya koordinasi lintas rezim: pidana dan perbendaharaan negara.
“BPK tidak menyebut KPK sebagai pelaku kesalahan tunggal. Yang disorot adalah cacat desain sistemik, yakni hukum pidana berjalan sendiri, hukum keuangan negara berjalan sendiri. UU Pemberantasan Tipikor mengatur cara menyita. UU Keuangan Negara mengatur cara mencatat. Di antara keduanya, terdapat jurang yang tidak pernah dijembatani secara tegas oleh undang-undang,” terangnya.
Iskandar menilai, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya menyalahkan KPK. Lembaga ini bekerja di luar mandat pengelolaan aset karena negara memang tidak pernah memberi desain yang jelas.
Menurut Iskandar, solusinya harus normatif dan sistemik. Pertama, negara wajib menetapkan satu norma eksplisit, dimana setiap aset hasil perampasan yang telah inkracht wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan cq. DJKN dalam batas waktu tertentu untuk dicatat dan dikelola sebagai BMN.
Kedua, diperlukan sistem informasi nasional aset rampasan yang menghubungkan KPK, Kejaksaan, Pengadilan, DJKN, dan BPK, agar tidak ada lagi aset yang berhenti di tengah jalan.
“Ketiga, KPK harus dikembalikan ke khitahnya sebagai penegak hukum. Pengelolaan aset bukan tugas tambahan yang dibebankan diam-diam, melainkan tanggung jawab profesional pengelola kekayaan negara,” jelasnya.
Iskandar juga bilang bahwa korupsi tidak hanya soal memenjarakan pelaku, tapi juga soal memulihkan apa yang dirampas dari rakyat. Jika negara hanya pandai menyita tetapi gagap mencatat, maka kemenangan hukum itu hanya setengah matang.
“Kita menang di ruang sidang, tetapi kalah di neraca keuangan negara. Harta rampasan bukan trofi penindakan. Dia adalah darah yang harus kembali mengalir ke jantung fiskal negara. Dan selama sistem ini dibiarkan timpang, kita akan terus menjadi negara yang garang saat menangkap koruptor, tetapi kikuk saat mengelola hasil kemenangannya sendiri,” tutup Iskandar. (Supri)




