Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Dua dekade lalu, suara lantang mahasiswa mengguncang kursi kekuasaan. Intelektual tak segan menulis kritik tajam. Rakyat bersatu dalam satu barisan menuntut perubahan. Reformasi 1998 adalah puncak keberanian sipil: ketika keberanian melawan rezim otoriter mengalahkan rasa takut dan kenyamanan.
Namun hari ini, generasi yang dulu dikenal sebagai anak-anak revolusi… diam. Bukan karena tidak tahu apa yang terjadi, tapi karena memilih bungkam. Atau mungkin, sudah dibungkam oleh jabatan, fasilitas, atau kebingungan yang dibuat-buat.
Keheningan itu sangat terasa ketika menyaksikan dua peristiwa besar. Pertama, *saat revisi Undang-Undang TNI* digulirkan, suara protes bermunculan. Mahasiswa turun ke jalan, LSM bersuara keras, media menyorot dengan intens. Kekhawatiran akan kembalinya militer ke ranah sipil mencuat di ruang-ruang publik.
Namun, ketika RUU Polri mulai dibahas, dengan pasal-pasal yang mengandung potensi kekuasaan super tanpa batas, semua seolah sepakat untuk diam.
Tak ada unjuk rasa.
Tak ada diskusi publik.
Tak ada headline utama.
Padahal, isi RUU Polri ini tak bisa dianggap remeh. Draf yang beredar menunjukkan kecenderungan perluasan kekuasaan polisi secara signifikan: