Banjir dan Tanah Longsor di Sumatera: Hutan Dirusak, Rakyat Jadi Korban, Siklus Brutal Kebijakan Lingkungan

  1. Hilangnya hutan,
  2. Rakusnya eksploitasi tambang
  3.  Tata ruang yang korup,
  4. Izin yang longsor sebelum tanahnya longsor.

Dengan menempatkan bencana sebagai “musibah”, publik kehilangan kesempatan untuk melihatnya sebagai kegagalan tata kelola lingkungan.

Apa yang Harus Dilakukan Negara

  1. Moratorium Izin Tambang dan Pembukaan Lahan di KRB
    Kawasan hulu, pegunungan, dan daerah resapan harus dibekukan dari seluruh aktivitas ekstraktif.
  2. Audit Lingkungan Menyeluruh
    Instrumen AMDAL harus menjadi dokumen ilmiah, bukan formalitas administrasi.
    Audit harus melibatkan perguruan tinggi dan lembaga independen (lihat UU PPLH Pasal 63).
  3. Pengawasan Ekstra Ketat
    UU PPLH memberi wewenang kepada pemerintah untuk membekukan bahkan mencabut izin tanpa menunggu proses pidana.
  4. Penegakan Hukum Korporasi
    Pasal 116–119 UU PPLH membuka kemungkinan pengenaan pidana korporasi, termasuk pertanggungjawaban direksi.
  5. Rekonstruksi Tata Ruang dengan Prinsip Ekologi
    Penataan ruang harus berbasis risiko bencana dan daya dukung lingkungan, bukan tekanan investasi.

Dalam dunia hukum lingkungan, mencegah satu pohon ditebang ilegal lebih berharga daripada 100 konferensi pasca-bencana.
Bencana yang terjadi hari ini adalah peringatan, bukan untuk alam, tetapi untuk negara.

Banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Sumatera; Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Aceh bukanlah sekadar gejala alam, tetapi gejala negara sedang kehilangan kompas ekologisnya.

Jika pemerintah terus memandang bencana ekologis sebagai “takdir alam”, wilayah Sumatera akan terus berduka, karena akar persoalannya bukan cuaca, melainkan cara memperlakukan alam.

Hutan yang ditebang hari ini mungkin menghasilkan keuntungan bagi segelintir orang, tetapi pada akhirnya akan merenggut sesuatu yang jauh lebih besar, yakni; keseimbangan lingkungan yang selama ini melindungi warga masyarakat, flora dan fauna.

Banjir dan tanah longsor yang menewaskan warga adalah bukti nyata bahwa kita sedang menuai hasil dari kebijakan yang salah arah. Dan jika negara tidak segera mengubah arah kebijakan, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Sumatera berduka, tetapi duka ini bukan akhir, bencana ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa menjaga hutan bukan hanya soal keindahan alam, melainkan soal menjaga keseimbangan alam dan lingkungan demi keberlangsungan kehidupan.

Penulis : Abdul Rasyid – Sekjen DPP LPKAN Indonesia, Aktivis, Pemerhati Kebijakan Publik, Pendidikan, dan kebudayaan. Aktif menulis isu-isu politik, sosial, dan budaya di berbagai media nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *