KOTA BEKASI, Mediakarya – Rencana perpanjangan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi dalam pemanfaatan TPST Bantargebang yang akan berakhir pada Oktober 2026 menuai penolakan dari warga setempat.
Wandi Sunardi, perwakilan Aliansi Masyarakat Penggiat Lingkungan, menyatakan bahwa keberadaan TPST Bantargebang telah merusak lingkungan dan mengarah pada bencana ekologi. “Kalau saya akan menolak perpanjangan PKS kalau masih seperti ini,” ujar Wandi yang juga warga Kelurahan Cikiwul saat kegiatan Simposium Sampah Bantargebang, Selasa (28/10/2025).
Menurut dia, perpanjangan PKS hanya bisa dilakukan jika ada pemulihan dan penataan lingkungan yang komprehensif. Perlindungan terhadap masyarakat dari aspek lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan sosial menjadi syarat mutlak.
Dia menegaskan, penolakan PKS merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat yang selama ini tinggal di sekitar TPST. Pencemaran lingkungan sudah terjadi sejak 36 tahun lalu ketika TPST mulai beroperasi pada tahun 1989. Wandi menjelaskan, tata kelola dan pengelolaan sampah sejak awal hingga saat ini telah melanggar aturan. Sistem open dumping yang diterapkan menimbulkan efek domino berupa pencemaran air dan udara yang luar biasa.
“Pencemaran air di lingkungan sekitar sudah terlihat jelas secara kasat mata tanpa perlu kajian khusus. Dari sananya airnya (warna) kuning, kok tiba-tiba berubah menjadi hitam,” ungkapnya.
Selama ini, pencemaran dibiarkan tanpa solusi konkret. Bahkan sumur artesis yang disiapkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga sudah terpapar pencemaran dan tidak layak konsumsi. “Pemerintah harusnya berkewajiban secara berkala dan transparan menyampaikan ke masyarakat kualitas airnya seperti apa dan udara seperti apa. Kalau terjadi pencemaran ya sampaikan,” katanya.
Lebih lanjut, Wandi menyoroti tidak adanya jarak aman antara TPST Bantargebang dengan permukiman warga. Keduanya hanya dipisahkan oleh kali. “Terus bagaimana bisa hidup dengan layak? Kami mempertanyakan juga tata ruangnya. Bagaimana masyarakat bisa hidup di tengah-tengah pembuangan sampah? Di Kelurahan Sumur Batu juga ada TPA Sumur Batu, ada juga pembuangan limbah domestik dan limbah industri. Bagaimana masyarakat bisa hidup di lingkungan yang tidak jelas ini?” ujarnya.
Dia juga mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab atas pencemaran yang telah terjadi. Di samping itu, warga juga dihantui dua potensi bencana besar setiap saat. “Kalau di musim hujan kita dihantui longsor karena ketinggiannya sudah berapa Mdpl kalau kita ukur. Kalau di musim kemarau itu ada gas metan yang berpotensi meledak,” ungkapnya.
Meski ada kompensasi dari pemerintah, Wandi menilai nilainya tidak seimbang dengan risiko yang dipertaruhkan warga. Kompensasi senilai Rp1,2 juta per tiga bulan dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. “Buat belanja air galon saja sehari habis berapa kalau mau dikonversi, belum yang lain-lain. Untuk saat ini sudah tidak layak dengan nilai segitu,” pungkas Wandi. (Supri)
