Lebih lanjut, Hariqo menjelaskan bahwa era disrupsi informasi yang sedang terjadi memiliki tantangan yang cukup kompleks bagi generasi muda. Begitu masifnya sebaran konten yang belum jelas terbukti kebenarannya, mengharuskan remaja memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thinking) yang lebih terasah dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Dengan demikian, mereka tidak mudah dipengaruhi sebaran konten negatif seperti berita bohong dan intoleransi yang dapat merusak tatanan kebangsaan Indonesia.
Pakar komunikasi dan media sosial ini pun menambahkan bahwa tidak mungkin pemuda yang radikal ataupun penyebar berita bohong karena faktor tunggal semata. Kalau ada siswa yang menyebar berita bohong, bukan hanya siswanya yang salah, tapi apa peranan wali kelas dan kepala sekolahnya sehingga siswa ini bisa menyebarkan berita bohong. Semuanya harus diusut tuntas.
“Ibarat orang sakit di umur 25 tahun, harus dicek latar belakangnya kan? Waktu balitanya dia bagaimana gizinya, waktu kecil dia makan apa, kok tiba-tiba dia umur 25 tahun sudah rusak ginjalnya? Begitu pula dengan tendensi penyebaran berita bohong dan konten intoleransi, dia harus dicek secara komprehensif. Kapan dan dimana dia masuk sekolah? Siapa saja guru sekolah dan guru ngajinya? Apakah dia pernah mendapatkan literasi yang terkait berita bohong selama ini? Kalau memang kepolisian mau mendalami, pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa itu bukan 100 persen salah dari pelajar itu,” tegas Hariqo.
Dirinya pun menerangkan bahwa pelaku yang demikian seringkali sudah dibentuk dalam satu sistem yang memang membuat dia tidak terasah nalarnya. Seolah-olah dia lahir dari lingkungan yang mencetaknya menjadi penyebar berita bohong.