Gerak Manifestasi Ekonomi Pancasila

Agus Rizal (Peneliti Senior Nusantara Centre)
Prof. Dr. Yudhie Haryono

Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) dan Agus Rizal (Peneliti Senior Nusantara Centre)

Apakah jantung Indonesia merdeka? Kami menyebutnya “ekonomi Pancasila.” Ini merupakan sistem yang berakar pada nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dan konstitusi. Hal terebut dirumuskan secara eksplisit dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sistem ini menempatkan asas kekeluargaan, kebersamaan, gotong-royong, demokrasi ekonomi, serta penguasaan negara atas sumber daya strategis sebagai ciri fundamental yang membedakannya dari model ekonomi liberalistik maupun sentralistik. Dalam perkembangan implementasinya, sistem ekonomi ini menghadapi tantangan penting terkait konsistensi regulasi dan arah kebijakan nasional.

Secara teoretis, ekonomi Pancasila diklasifikasikan sebagai sistem hibrida (campuran). Sistem ini tidak mengeliminasi peran pasar, melainkan menempatkan negara dan warga-negara sebagai aktor utama dalam menjaga keseimbangan antara individualisme dan komunalisme. Dus, negara dan warga-negara memiliki mandat untuk merancang, mengatur, merumuskan dan menjalankan intervensi ekonomi yang diperlukan agar pertumbuhan ekonomi menghasilkan pemerataan hasil secara berkelanjutan, berkeadilan (sosial) dan ramah lingkungan.

Dalam pendekatan kelembagaan, sistem ekonomi ini menuntut adanya regulasi yang tidak hanya bersifat administratif, namun juga bersifat substantif. Regulasi diperlukan untuk menyelaraskan antara norma konstitusional dan dinamika ekonomi aktual. Ketika regulasi bersifat lemah atau bersifat sektoral semata, maka orientasi pembangunan cenderung bergeser dari prinsip komunalisme ke logika efisiensi semata.

Teori kedaulatan ekonomi memperkuat argumentasi tersebut. Negara yang berdaulat secara ekonomi tidak semata berarti bebas dari pengaruh eksternal, namun lebih jauh mengacu pada kemampuan negara dalam mengarahkan pembangunan ekonomi berdasarkan kepentingan nasional jangka panjang. Hal ini mencakup penguasaan atas sumber daya alam, cabang produksi penting, sistem keuangan yang berkeadilan, serta tata kelola ekonomi semesta yang berorientasi pada kemakmuran seluruh warga-negara, bukan orang per-orang maupun kelompok (SARA).

Hal ini sangat fundamental karena permasalahan aktual yang dihadapi Indonesia antara lain adalah belum tersedianya perangkat hukum yang secara eksplisit dan komprehensif menjabarkan sistem ekonomi Pancasila dalam bentuk undang-undang operasional. Kita belum punya UU Perekonomian Nasional. Ketidakhadiran kerangka hukum ini menyebabkan frasa-frasa penting dalam pasal 33 seperti “usaha bersama” dan “kemakmuran rakyat” mengalami penafsiran yang beragam. Dalam konteks tersebut, regulasi berperan penting sebagai jembatan antara norma ideal dan aplikasi kebijakan.

Padahal, dalam praktik ekonomi global, banyak negara dengan sistem terbuka tetap menerapkan prinsip nasionalisme ekonomi dalam skala tertentu. Mereka menerapkan kepentingan warga-negaranya sebagai yang utama. Perlindungan terhadap sektor pertanian, pembatasan kepemilikan asing di sektor strategis, hingga persyaratan alih teknologi dalam investasi adalah contoh regulasi yang dilakukan untuk menjaga kepentingan domestik mereka. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi tidak bertentangan dengan pertumbuhan dan dalih ekonomi modern maupun terbuka, namun justru dapat menjadi prasyarat bagi pertumbuhan yang berkeadilan di negaranya sendiri.

Di zaman modern ini, Indonesia menghadapi pilihan strategis. Kita dapat memilih untuk memperkuat regulasi ekonomi yang merujuk pada prinsip-prinsip Pancasila, atau membiarkan mekanisme pasar secara bebas menentukan arah pembangunan. Dalam situasi seperti ini, penyusunan sistem regulasi ekonomi nasional menjadi keniscayaan bahkan urgen, bukan untuk menghambat arus globalisasi, namun untuk memastikan bahwa keterbukaan ekonomi tetap berada dalam kerangka kedaulatan nasional.

Kerangka tersebut dalam keIndonesiaan disebut “demokrasi ekonomi sebagai sisi wajah lain dari demokrasi politik.” Tentu, keduanya dalam menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Warga-negara tidak boleh hanya diposisikan sebagai objek kebijakan, namun harus diberdayakan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak atas sumber daya, akses terhadap produksi, dan keterlibatan dalam distribusi hasil pembangunan. Untuk itu, penguatan sumberdaya manusia (agensi/SDM), penyempurnaan kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun lokal, menjadi kunci keberhasilannya.

Singkatnya, keberhasilan ekonomi Pancasila, implementasi dan manifestasinya sangat bergantung pada konsistensi antara prinsip dasar, struktur hukum, ketokohan dan desain kebijakan publik yang dahsyat. Apabila keempat unsur ini tidak terintegrasi secara sistemik, maka ekonomi Pancasila akan terjebak sebagai narasi ideal tanpa penerapan konkret di lapangan.

Dengan demikian, ekonomi Pancasila bukan sekadar warisan historis dan konstitusional semata. Ia juga kerangka konseptual yang relevan dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer, seperti ketimpangan-kesenjangan ekonomi, dislokasi sosial, dan tekanan globalisasi yang predatorian. Penyatuan antara regulasi dan arah pembangunan berbasis nilai dasar bangsa merupakan langkah strategis yang diwajibkan hadir agar perekonomian Indonesia mampu tumbuh secara berdaulat, inklusif, dan berkelanjutan. Kinilah waktu terbaik bagi hadirnya ekonomi Pancasila setelah puluhan tahun hidup dalam ekonomi pasar yang jelas-jelas telah gagal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *