Oleh: Agus Wahid
“Sayang tapi tak sayang” Sebuah pepatah yang cukup dikenal di masyarakat. Terlihat sayang, tapi sesungguhnya tidak. Bahkan, menjebloskan anak yang disayanginya. Terjerambab ke liang lumpur. Sulit bergerak. Bisa mati tenggelam di tengah lumpur jika badan memaksa diri bergerak. Itulah pepatah yang cukup tepat untuk menggambarkan posisi Jokowi-Iriana terhadap Gibran saat ini.
Terlihat menyayangi puteranya. Karena besarnya rasa sayang sehingga dipaksakan mengikuti kontestasi pilpres, meski sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Memang, ada maksud khusus Jokowi-Iriana menyuguhkan anaknya (Gibran Rakabuming Raka). Yaitu, berharap anak sulungnya berhasil ke tangga kekuasaan yang jauh lebih berengsi. Melompat jauh lebih tinggi dari posisi sebelumnya: Walikota Solo. Mumpung dirinya masih berkuasa. Jika berkakhir kekasaannya, maka jangankan posisi wapres, posisinya saat ini sebagai Walikota pun akan segera terhempas. Cara berfikir mumpungisme (carpedium) itulah yang mendorong istana dengan segala cara mengantarkan Gibran ke kontestasi pilpres saat ini.
Namun, sungguh disayangkan. Jokowi-Iriana gagal membaca sinyal kuat sikap publik. Boleh jadi, karena ambisinya: membangun dinasti politik (trah baru Jokowi), meski bukan “berdarah biru”, atau titisan “pejuang”. Karena besarnya ambisi, istana tak mau melihat responsi publik yang sama sekali tak sesuai ekspektasi.
Di berbagai media, kalimat satiris demikian meluas. Suara anti Gibran terus membahana. Bahkan, kalangan milenial dalam jumlah besar menolak dirinya diwakili seorang Gibran. Serasa ikut ternodai martabatnya. Apalagi kalangan pemuda dan kaum tua yang secara usia di atas Gibran. Mereka secara terbuka sangat keberatan dengan kehadiran Gibran dalam bursa kepemimpinan nasional, meski dirinya berposisi sebagai “ban serep” dalam pilpres ini. Mereka sadar, ban serep akan difungsikan. Pantas tidak pantas, rela tak rela, konstitusi bicara tegas: Jika presiden berhalangan tetap karena sakit apalagi wafat, maka wakil presiden menggantikannya. Otomatis. Ketiban pulung yang memang diharapkan.
Lalu, bagaimana masa depan negeri dan bangsa ini jika seorang Gibran memimpinnya? Sulit diterima secara akal sehat. Dalam hal ini secara rasional kita perlu membuka data obyektif Gibran, yang hingga kini belum aktif statusnya sebagai Walikota Solo. Dalam pergerakan politiknya sulit menghindari vested interest pribadinya antara peran dirinya sebagai pejabat publik, yang secara paralel akan menggunakan fasilitas negara. Minimal, pengaruhnya di wilayah Solo.
Aparatur TNI, POLRI dan ASN meski sebatas wilayah Solo pasti akan digunakan untuk kepentingan pragmatis seorang Gibran selaku cawapres. Sebanyak 339.009 pemilih tetap yang tersebar di 1.773 TPS di wilayah Solo sesuai hasil Penetapan rekapitulasi DPT Tingkat Kota Solo untuk Pemilu 2024 (Kep. KPU Solo No. 85 Tahun 2023) ada dalam genggaman pengaruh Gibran. Memang tak ada jaminan mereka akan pilih pasangan No. 3. Namun, minimal, pengaruh Gibran sebagai Walikota Solo akan punya daya cengkeram. Jelaslah, pendayagunaan pengaruhnya merupakan abuse of power. Karena itu menjadi pertanyaan besar, mengapa KPU tidak menon-aktifkannya. Arahnya, bukan hanya mengganggu kinerjanya sebagai Walikota Solo, tapi potensi conflict of interest itu. Begitu juga, mengapa BAWASLU juga membiarkan konflik kepentingan itu yang pasti dilakukan.
Sementara itu, seluruh rakyat negeri ini menyaksikan, langkah politik istana memaksakan Gibran langsung merusak sistem ketatanegaraan. Seperti kita tahu, usianya yang kini 36 tahun dipaksakan bisa ikut kontestasi. Pemaksaan ini merusak UU Politik No. 17 Tahun 2017, yang secara tegas menentukan, usia capres-cawapres minimal 40 tahun. Sekali lagi, ketentuan ini ditabrak. Pamannya, seorang Anwar Usman (AU) saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review (JR) terkait batasan umur minimal itu. Meski permohonan JR tak jelas legalitasnya, tapi AU tetap meloloskan Gibran sebagai peserta pilpres.
Penabrakan ini benar-benar memporak-pandakan ketentuan hukum demi Gibran. Penabrakan ini jelas bukan hanya kemauan AU, tapi tak lepas dari perintah khusus istana, sebagai Jokowi ataupun Iriana selaku kedua orang atuanya, yang notabene nyaah pisan (saying banget). Yang perlu kita catat, perjuangan apapun yang dilakukan istana, justru menjatuhkan martabat Gibran. Banyak pernyataan satiris dari publik: Gibran “anak haram” konstitusi. Bisa dilacak jejak digitalnya. Terinformasikan secara luas. Tidak hanya di jagad raya negeri ini.
Sisi lain, apa yang bisa diharapkan dari Gibran. Bukan hanya usianya yang masih belum cukup umur, tapi dalam panggung politik pun baru sebesar biji jagung. Proses politiknya ke “singgasana” Walikota pun tak lepas dari cawe-cawe istana melalui berbagai kaki tangannya di wilayah sana sehingga menang mutlak dalam pilkada Solo dua tahun lalu. Dan dua tahun menjadi pejabat publik dengan standar walikota, apa yang bisa diharap lebih jauh untuk memimpin negeri ini yang berjuta pendudukanya, luas teritorialnya, complicated persoalannya dan negeri asing sudah siap-siap menerkam kita.
Memang, Gibran sebagai “ban serep”. Tapi, secara konstitusi, ia adalah mitra presiden dalam memikirkan dan bertindak untuk kepentingan bangsa dan negara besar ini. Maka, pengalaman yang baru sebesar biji jagung sungguh masih terlalu kecil, sangat terbatas untuk memanggul amanah yang demikian besar itu.
Sisi lain lagi, kapasitas keilmuannya. Jika menengok sejumlah pejabat publik lainnya, dalam usia kisaran 35 tahun bahkan jauh di bawahnya, tak sedikit yang sudah menggapai jenjang keilmuan sampai tingkat doktoral. Tapi, data akademik Gibran dalam usia 36 tahun hanyalah D1, atau sama dengan SLTA plus. Keterbatasan kapasitas akademik ini tampaknya menjadi faktor dirinya selalu menghindari debat terbuka dengan berbagai elemen masyarakat. Memang tak ada “isi”. Kosong otaknya.
Karenanya, sebelum celana tampak merembes karena dipermalukan di hadapan ribuan bahkan jutaan masyarakat, maka tidak ikut debat publik merupakan opsi paling efektif. Sebagai penggantinya, lebih memilih sosialisasi dengan cara berbagi susu, uang dan lain-lain. Ala maakkk… Penderitaan selama lima tahun ke depan hanya disuap dengan angka di bawah Rp 150.000/orang. Super anehnya, BAWASLU pun cicing wae, mendel mawon (diam saja), padahal jelas-jelas melanggar ketentuan pemilu. Pengistimewaan? Jawabnya, apakah negeri ini milik nenek moyangnya? Sejak kapan kepemilikan istimewa itu?
Kita perlu mencatat, debat publik itu hak rakyat mendapatkan informasi. Rakyat berhak tahu kualitas daya pikir, bahkan integritas sang pemimpinnya. Mau dibawa ke mana negeri ini? Bangsa ini akan dijadikan apa? Apakah “dirujak” (diuleg) bagai makanan? Sorry, we have to refuse dengan tegas, tanpa kompromi atau toleransi. Dalam era demokratik ini, tidak pada tempatnya kandidat menyembunyikan standar jatidirinya. Dan dalam era demokratik ini tidak pada tempatnya harus sendiko dawuh terhadap calon pemimpin yang berstandar rendah. Inilah reaksi rasional, bukan asal menolak. Ada rasionalitasnya di balik penolakannya, bukan anti personal, apalagi benci.
Akhirnya, kita perlu mencatat, Gibran sang anak yang disayang. Tapi, salah cara menyayanginya. Nyaah, teu nyaah. Gibran menjadi malang nasibnya. Dihujat tanpa henti, di manapun. Direndahkan sedemikian rendahnya. Aneh bin ajaibnya, orang tuanya seperti tak merasa iba, apalagi merasa berdosa. Sungguh tak empati pada putera kesayangannya sendiri. Orang tuanya tetap memaksakan kehendaknya dengan cawe-cawenya. Mengerahkan seluruh instrumen yang ada dalam genggaman pegaruh kekuasaannya. Dumeh kuwoso (mentang-mentang berkuasa).
Ketidakempatian itu harus dijawab dengan cerdas, penuh sadar. Seluruh generasi milenial, pemuda dan usia yang lebih tua apalagi yang punya kapasitas haruslah menunjukkan sikap cerdas dan tegasnya: jangan beri peluang kepada kandidat pemimpin yang justru akan semakin menenggelamkan martabat bangsa dan negeri ini. Janganlah luntur hanya karena urang recehen. Juga, jangan goyah karena iming-iming jatah jutaan dolar atau jabatan yang dijanjikan. Gunakan jemari di bilik suara yang hanya beberapa detik: untuk tidak memilih kandidat pemimpin yang akan menjerumuskan negara. Kita semua sebagai pemilih tak selayaknya diam menyaksikan skenario gelap di Tanah Air ini.
Penulis: Analis Politik