“Hal tersebut dapat saja terjadi dalam hubungan hukum antarprivat yang sifatnya sangat spesifik dan kompleks. Dalam batas penalaran yang wajar, hal-hal tersebut tidak dapat diakomodir dengan selalu menyelaraskan norma dari undang-undang yang bersangkutan,” ujar MK.
Terlebih lagi, terhadap norma yang memang tidak terdapat persoalan konstitusionalitasnya. Apalagi norma yang dimohonkan Pemohon telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
“Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia,” tutur MK.
Menurut MK, Joshua tidak memahami substansi putusan MK sebelumnya.
“Karena penafsiran norma dalam frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap’ dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999,” terang MK..
Dimaknai ‘terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’ sudah tepat dan memberikan sebuah bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian fidusia,” demikian pertimbangan MK.
MK kemudian mengutip putusan tahun 2019 yaitu: