Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya ‘cedera janji’ (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate executie).
Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya ‘cedera janji’ (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Dengan demikian, hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.
Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo.
Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi.
Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.(red)