Dia mengatakan, latar belakang munculnya amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan wacana Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) karena sudah tidak ada lagi GBHN dan salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial.
“Karena itu, presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN buatan MPR maka kewenangan MPR membuat GBHN dihapus,” ujarnya, dikutip dari antara.
Dia mengatakan, dalam perjalanannya, ketiadaaan GBHN membuat arah pembangunan tidak jelas meskipun sudah ada UU tentang pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.
Namun menurut dia, UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Karena itu UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari ‘poco-poco’ karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda,” katanya.
Hidayat mengatakan, karena itu MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN sehingga dibentuk Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN.