- Memiliki akses resmi ke Google Admin Console,
- Bisa memproses enrollment perangkat berbasis serial number,
- Mampu menghubungkan Chromebook ke domain sekolah (belajar.id atau .sch.id),
- Bisa mengaktifkan lisensi Chrome Education Upgrade (CEU) secara legal di Indonesia.
“Artinya, tanpa intervensi atau keberadaan D maka barang senilai triliunan itu tidak bisa menyala di ruang kelas. Lalu, masa D bisa cuci tangan dari kasus tersebut? Tentu tidak! Ini modus kejahatan di beberapa negara,” kata Iskandar.
Dalam kaitan itu, lanjut dia, negara membayar penuh, tetapi tidak punya kendali atas sistem. Ini pengelabuan terhadap negara.
Kemudian, sekolah tidak bisa aktivasi sendiri, meski perangkat sudah di tangan.
Selain itu, semua tergantung pada satu vendor swasta, dari pusat hingga ke daerah.
“Ini adalah model vendor-lock-in dalam bentuk paling sempurna dari sistem, lisensi, jaringan, hingga distribusi hanya dikendalikan oleh satu tangan,” jelasnya.
IAW juga membeberkan simpul masalah tersebut, di mana pengadaan Chromebook oleh Kemendikbudristek bukan lagi hanya terkait pengadaan barang.
“Ini adalah pengadaan sistem yang sejak awal dikondisikan untuk dikunci, diatur, dan dimonopoli lewat tahapan teknis yang tampak biasa, namun bagi yang sangat paham maka sesungguhnya ini adalah keculasan yang sangat terstruktur,” ungkapnya.
Negara yang membeli perangkat, tetapi perusahaan D yang memegang kuncinya,” imbuh Iskandar.
Selanjutnya, ketika sistem ini dirancang sebelum jabatan formal dimulai, lalu dengan struktur spesifikasi yang mengarah hanya pada vendor tertentu, maka model bisnis ini wajib diperiksa dari hulu ke hilir oleh penyidik Kejagung.
Karena apa? Tanpa aktivasi, perangkat Chromebook tidak bisa dipakai. Tanpa internet stabil, CDM tidak jalan. Sekolah di daerah 3T jadi gudang perangkat mati
“Jadi, ini bukan soal teknologi. Ini soal moralitas orang pengendali perusahaan,” tegas Iskandar.
Menurut dia, serial number bukan sekadar nomor perangkat. Dalam sistem CDM, serial number adalah pintu uang. Hanya satu perusahaan yang bisa membukanya, yaitu D. Negara tidak punya lisensi master-nya. Aktivasi dilakukan secara tertutup.
“Biaya diselipkan sedemikian rupa ke dalam harga per-unit. Halus sekali model menculasi negara, bukan,” tanyanya.
“Masa itu tidak disentuh penyidik? Justru itu akar masalah kasus Chromebook!! Bukan yang lain,” imbuhnya.
Oleh karenanya, penyidik harus memeriksanya, jangan hanya kontrak fisik, tapi juga logika bisnis di balik proyek tersebut. Ini bukan sekadar pengadaan, ini adalah model bisnis yang membajak kebijakan negara.
Untuk itu, Indonesian Audit Watch menilai, penanganan hukum tidak boleh hanya menyentuh “belanja Chromebook” karena model bisnis di balik CDM-lah akar masalahnya. Rekomendasi IAW: