Oleh Agus Wahid
Tulisanku berjudul “Ibadah Qurban: Perspektif Sosial-Politik” mendapat respon sahabat. Cukup membuat hati termenung. “Benar juga”, gumamku dalam hati. Itulah sebuah sharing video yang menayangkan seseorang. Dengan kaos panjang dan celana kasual dan latar belakang puing-puing Tanah Gaza, dia berucap lantang, “Wahai muslimin-muslimat sedunia… Di mana empati kalian? Di tengah perayaan `Iedul Qurban, warga Gaza dan Palestina pada umumnya dilanda nestapa. Tidak hanya getir menghadapi agresi Israel Zionis, tapi juga kelangkaan pangan. Kalian berpesta daging, rakyat Palestina hanya meratap dan tangis air mata…”.
Maasyaa Allah…. Hati sangat terenyuh. Meronta, tapi tak berdaya untuk mengambil langkah konkret. Maka, kurasa sangat krusial untuk menulis persoalan nestapa Palestina dalam kaitan `iedul qurban dalam serial memperkuat empati kemanusiaan. Sebuah tulisan untuk membangun kesadaran antarsaudara seagama dan sesama umat manusia tanpa memandang perbedaan keyakinan, suku bangsa dan negara.
Seperti yang terurai dalam tulisanku kemarin (Ibadah Qurban: Perspektif Sosial-Politik), jelas-jelas menggambarkan ibadah qurban mampu membangun empati kemanusiaan, terhadap kaum dlu`afa secara serentak (dari tanggal 10 dzul hijjah plus tiga hari tasyri`).
Jika kita membuka landasan teologis – katakanlah al-Qur`an – tak ada ayat yang menegaskan kepada siapa daging qurban harus dibagikan? Beda dengan zakat fitrah dan zakat maal yang tertuang jelas delapan golongan penerima zakat (Q.S. At-Taubah: 60).
Ketiadaan ayat untuk pembagian daging qurban menjadikan seluruh elemen muslim bahkan non Islam (nonis) pun mendapatkan bagian, termasuk kaum aghniya. Namun demikian, terdapat kesadaran kemanusiaan, kaum dlu`afa mendapat prioritas untuk menerimanya. Inilah empati yang telah terbangun di berbagai negara, wabil khusus di Tanah Indonesia ini.
Pemikiran langsung “melayang”, jika kaum dlu`afa memang mendapat prioritas, bagaimana dengan masyarakat Palestina? Mereka bukan hanya lemah secara ekonomi sampai ke titik nadzir (tergolong tak punya sesuatu yang harus dikonsumsi), tapi juga menderita lahir-batin di bawah sang kolonialis?
Di lapangan, muncul pergolakan batin, mengapa harus prioritaskan bangsa dan negara lain, sementara di dalam negeri ini terdapat angka kemiskinan yang tergolong besar? Menurut catatan catatan Bank Dunia, angka kemiskinannya mencapai 60,3% atau sekitar 171,8 juta orang, meski dibantah oleh BPS, yang hanya mencatat 8,57% atau 24. 373.508 orang Lebih valid manakah data Bank Dunia versus data BPS? Jawabannya, bisa kita konfrontir realitas di lapangan. Apakah data BPS itu faktual, atau memang sengaja menggunakan standar rasio yang bermakna menyembunyikan fakta. “Wis karepmu, wahai Rezim…”.
Jika kokoh menggunakan data vers BPS, maka ada kewajiban moral dalam hal pembagian daging qurban sebanyak 24.373.508 orang. Pertanyaannya, berapa banyak penduduk muslim yang berqurban? Menurut data Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), pada 2025 ini terdapat 3.217.397 ekor, terdiri dari 784.668 ekor sapi, 34.840 ekor kerbau, 1.438.452 ekor kambing dan 959.437 ekor domba.
Jika kita ambil rata-rata sapi dan kerbau 1.200 kg/per ekor, maka terkumpul daging sebanyak 983.409.600 kg. Atau – dengan hitungan masing-masing menerima 0,5 kg – berarti sebanyak 1.966.819.200 orang penerima daging qurban. Dan jika dihitung seluruh kambing dan domba dengan rerata 40 kg per ekor, maka jumlahnya mencapai 95.915.560 kg. Atau – jika masing-masing mendapatkan 0,5 kg, berarti 191.831.120. Berarti, total daging qurban di Tanah Air ini mencapai 2.158.650.320 orang. Sungguh melampaui target pemenuhan untuk kaum dlu`afa, meski di lapangan terdapat tindakan nakal: pembagian daging dijual oleh oknum tertentu.
Itu baru catatan hewan qurban Indonesia. Bagaimana dengan seluruh dunia Islam? Dengan mengambil angka sekitar 10% dari populasi penduduk Islam dunia sebesar 2,04 miliar atau 204 juta orang berqurban katakanlah seekor sapi/unta – maka, dengan rerata 1 ton per ekor, jumlahnya mencapai 204 juta ton. Jika dibagikan ke seluruh kaum dlu`afa seberat 0,5 kg per individu, berarti terdapat 408 juta orang.
Yang menjadi pesoalan, belum ada data kemiskinan di negara-negara Islam yang terpublikasi. Lembaga keuangan internasional seperti Islamic Develompent Bank (IDB) dan Organization of Islamic Cooperation (OIC) pun tidak merilis atau mempublikasikan data kemiskinan itu. Ketiadaan data kemiskinan di tengah negara-negara Islam dunia, mempersulit bikin kebijakan terkait idealitas pembagian daging qurban, terutama untuk saudara-saudara yang sangat membutuhkan seperti warga Palestina.
Sekarang, kita ambil sampel sederhana. Indonesia sendiri tergolong surplus daging qurban. Pertanyaannya, setelah dibagikan ke kaum dlu`afa Indonesia, seberapa besar tonase daging qurban untuk untuk warga Palestina?
Lebih miris lagi, negeri Saudi, yang – pasca ibadah haji – menyembelih unta, atas nama dam atau qurban. Dengan jumlah jamaah haji sebesar 1,5 juta (untuk 2025), setidaknya, terdapat 1,5 ekor unta. Sementara, penduduk Arab Saudi sebesar 35,3 juta orang. Dengan asumsi – mengingat penduduknya rata-rata kaya – terdapat 50% penduduk Saudi Arabia berqurban unta, maka terbayang angkanya: 17,65 juta orang berqurban unta. Dengan rerata 1 ton beratnya, berarti, 19,15 juta ton (dari penduduk Saudi Arabia dan jamaah haji) daging siap dibagikan.
Total jumlah tonase hewan qurban Saudi Arabia dan Indonesia, sudah sangat besar. Sementara – menurut Model Macro Global Trading Economics – jumlah warga Palestina saat ini hanya 5,60 juta orang. Artinya, jika Indonesia dan Arab Saudi saja berempati kemanusiaan, maka tak ada cerita warga Palestina menjerit kelaparan, minimal, untuk sektor daging.
Kini, yang diperlukan adalah pemikiran kreatif bermisi memperkuat sikap empati kemanusiaan. `Iedul Qurban haruslah dijadikan tonggak pemikiran: bagaimana mengelola daging qurban untuk kepentingan jangka panjang kehidupan warga Palestina yang terus dilanda kepedihan dan penderitaan. Dengan melihat surplus daging qurban, tak selayaknya warga Palestina dilanda krisis pangan.
Pemikiran itu diperlukan agar masyarakat muslim dunia senantiasa bisa beribadah atas nama kemanusiaan (menolong saudara-saudaranya seagama dan sesama manunsia). Sisi lain, agar manusia lain tidak meledek tentang kualitas empati kemanusiaan dunia Islam yang ternyata super rendah.
Akhirnya, kita perlu merenung kembali. Di tengah kebahagiaan atas kehadiran `iedul qurban, selayaknya kita berbagi hewan qurban. Atas nama sesama umat manusia apalagi sebagian seiman. Sejalan dengan kendala jarak apalagi topografi konflik, maka perlu kreasi pemasakannya yang tahan lama dikonsumsi: agar tetap bisa dikonsumsi oleh warga Palestina. Tidak hanya pada hari-hari `iedul qurban, tapi jauh setelahnya yang memang memerlukan pangan.
Itulah kualitas empati kemanusiaan yang luar biasa. Kondisi Palestina haruslah dijadikan ladang ibadah yang meringankan beban hidupnya. Ketika kita tak mampu membela kepentingan bangsa Palestina secara militeristik, setidaknya kita selaku umat manusia bisa memberikan bantuan logistik (pangan). Itulah makna besar empati kemanusiaan. Sebuah harapan, `iedul qurban tahun ini menjadi daya dorong yang jauh lebih kuat, sekaligus terpanggil untuk melahirkan kebijakan bantuan pangan untuk warga negara yang tertindas.
Penulis: Analis CPPSI