Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Jika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Tanjung Perak, tentu dia tak akan sulit mengungkap temuan besar yang tersembunyi di balik layar ekspor ikan tuna utuh. Selama ini, Indonesia bangga disebut eksportir tuna terbesar di dunia. Tapi di balik kebanggaan itu ada paradoks, yakni negara justru kehilangan ratusan triliun rupiah karena tuna kita diekspor oleh 10 korporasi, yang terbesar inisial PT PBN dan PT GEM, dalam bentuk whole round, yakni ikan beku utuh.
Padahal itu dilarang undang-undang, namun terus lolos hanya melalui celah kode HS 03034300 di sistem Bea Cukai. Dari sini terlihat institusi yang baru dikomandoi Purbaya dari lapangan Banteng Jakarta Pusat tersebut nyata-nyata gagal!
Satu kode ini digunakan untuk berbagai produk berbeda, mulai dari precooked loin sampai fish bone meal, padahal nilai tambah dan bentuknya tidak sama. Itulah “pintu hukum terbuka” bagi praktik legal smuggling, ketika regulasi tertulis kalah oleh kelemahan teknis di sistem.
Bea Cukai tidak terbukti mumpuni melakukan post audit atas seluruh ekspor ikan tuna dengan HS Code 03034300 dan melakukan mitigasi risiko berupa pemeriksaan atas ekspor yang sedang berjalan dan melakukan perubahan HS Code.
Perspektif hukum dan kebijakan
I. Merujuk pada Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 2004, dan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (klaster kelautan dan perikanan).
Di pasal 26 UU Perikanan menegaskan bahwa hasil perikanan wajib diolah di dalam negeri sebelum diekspor. Tujuannya sangat jelas untuk:




