Oleh: Yudhie Haryono (Presidium Forum Negarawan) & Agus Rizal (Ekonom Univ MH Thamrin)
Mari lebih serius memikirkan negara: mensentosakan warganya. Kali ini soal investasi yang sangat kritis. Mengapa kritis? Karena selama ini, investasi diserahkan ke pasar bebas. Tanpa ideologi, tanpa pemihakan, tanpa melihat “kepentingan nasional.”
Dengan alasan tersebut, kebijakan investasi dalam Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUUPNKS) harus menghadirkan arah baru pembangunan ekonomi yang berdaulat dan berpihak pada kepentingan bangsa: kebutuhan semua warganya.
Dengan begitu, negara tidak boleh lagi menempatkan investasi asing sebagai tulang punggung pembangunan, melainkan mengutamakan penguatan modal dalam negeri sebagai sumber utama pembiayaan nasional. Pendekatan ini menegaskan bahwa investasi bukan sekadar arus uang, tetapi merupakan instrumen strategis untuk memperkuat kedaulatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan mendorong pemerataan kesejahteraan warga-negara.
Paradigma baru ini lahir dari kesadaran bahwa ketergantungan terhadap modal asing telah menciptakan kerentanan fiskal dan hilangnya kendali atas sumber daya strategis. Karena itu, arah kebijakan investasi kini menempatkan kepentingan nasional di atas segala kepentingan ekonomi global.
Setiap investasi, baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, wajib memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan produktif, alih teknologi, kesempatan kerja, keadilan honor, peningkatan nilai tambah domestik, dan penguatan kapasitas industri nasional.
Investasi asing tidak lagi boleh menjadi jebakan diplomasi yang berujung pada hutang budi dan penjualan kedaulatan ekonomi. Indonesia tidak boleh kembali menjadi arena barter antara modal global dan kebijakan nasional. Setiap kerja sama investasi harus berdiri di atas prinsip kesetaraan, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan semua warga-negara, bukan pada agenda politik luar negeri atau tekanan lembaga keuangan internasional. Model lama yang mengorbankan kemandirian bangsa digantikan dengan strategi investasi berdaulat yang menolak intervensi, menegakkan hak negara atas sumber daya, dan memastikan hasil pembangunan dinikmati oleh bangsa sendiri.
Pemerintah diarahkan untuk membangun ekosistem investasi yang bersih, transparan, dan efisien agar dapat menumbuhkan sektor-sektor strategis yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya serap tenaga kerja luas. Setiap kebijakan fiskal, regulasi, dan perizinan disusun agar mampu menciptakan iklim investasi yang adil dan produktif. Insentif yang diberikan berbasis kinerja dan hasil nyata, bukan sekadar kepentingan administratif. Investasi yang masuk diukur bukan dari besarannya, melainkan dari dampaknya terhadap kemandirian ekonomi nasional.
Kemandirian investasi diperkuat dengan strategi pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri, antara lain melalui tabungan nasional, optimalisasi penerimaan negara, dan penguatan lembaga keuangan nasional. Pendekatan ini menjadi koreksi terhadap kebiasaan lama yang terlalu bergantung pada pembiayaan luar negeri.
Modal asing tetap diperbolehkan, namun harus tunduk pada kepentingan nasional dan diwajibkan bermitra dengan pelaku usaha domestik. Dengan demikian, investasi asing tidak menjadi alat dominasi, tetapi berfungsi sebagai katalis untuk memperkuat ekonomi nasional yang mandiri.
Kebijakan ini juga menjadikan keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosial sebagai pilar utama pembangunan. Setiap kegiatan investasi diwajibkan mematuhi prinsip ekonomi hijau dan berkeadilan agar pertumbuhan ekonomi tidak menimbulkan kerusakan ekologis atau ketimpangan sosial. Pendekatan ini mengubah orientasi pembangunan dari sekadar mengejar ekspansi ekonomi menuju keseimbangan antara pertumbuhan, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Secara teoretis, arah kebijakan investasi berdaulat ini berpijak pada teori pembangunan endogen dan teori kedaulatan ekonomi. Teori pembangunan endogen menegaskan bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai apabila sumber daya internal, seperti modal domestik, pengetahuan lokal, dan inovasi teknologi, menjadi penggerak utama pembangunan.
Sementara teori kedaulatan ekonomi menempatkan negara sebagai aktor sentral yang mengatur arus investasi dan perdagangan untuk melindungi kepentingan nasional dari dominasi eksternal. Kedua teori tersebut bersatu dalam kerangka Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang menolak liberalisasi pasar bebas dan mengembalikan arah pembangunan pada prinsip berdikari. Dengan fondasi ilmiah dan politik yang kuat, investasi tidak lagi ditentukan oleh siapa yang membawa modal, melainkan oleh siapa yang menguasai arah dan manfaatnya bagi masa depan bangsa.
Mengingat soal investasi asing, mari kutip pernyataan Bapak Republik Tan Malaka (1897-1949) agar kita tidak khianat pada para pahlawan. Menurutnya, “investasi asing dapat membahayakan perekonomian dan industri yang baru tumbuh, mengadu-domba, bahkan menghancurkan negara, terlebih bagi negara yang kurang kuat ekopolnya.” Semoga kita semua lebih berhati-hati dan cermat. Tentu agar negara Pancasila makin nyata. **