Jateng Masuk Provinsi Termiskin, Layakkah Ganjar Maju di Pilpres 2024?

Ganjar Pranowo (Foto; net)

Apakah memang sejumlah pemimpin parpol demikian stupid dalam menatap gerakan surveyor by order itu? It`s maybe yes and no. Sinyal positif bisa diartikan sebagai sikap percaya pada hasil survey. Tapi, sinyal itu juga merupakan ketundukan akibat tekanan politik istana dan hanya satu opsi: harus mendukung GP. Jika menolaknya, jeruji besi siap menjemputnya. Taka da pilihan lain. Campur tangan ini tak lepas dari gagalnya upaya memperpanjang masa jabatan tiga periode atau tiga tahun semasa periode kedua ini.

Tahaban berikutnya, gerakan lembaga-lembaga survey diharapkan mampu membangun persepsi publik secara meluas dan mendukung serta memilih seorang GP. Sebuah renungan, apakah bangsa ini sedemikian bodoh dan buta sehingga tak mampu membaca track record GP dalam memimpin Provinsi Jawa Tengah? Tentu hanya sebagian kecil.

Namun demikian, jika akhirnya GP berhasil ke istana, maka indikasi semakin kuat: terjadi keterulangan sejarah rekadaya moral hazard yang menorehkan fakta politik periode kedua rezim ini. Sebuah renungan, apakah akan terbiarkan keterulangan sejarah moral hazard itu? Jawabnya, jangan samakan pentas demokrasi 2019 dengan 2024 mendatang. 

Sebagian elemen bangsa secara mayoritas ini sudah demikian menderita lahir-batin. Maka, yang berpotensi terjadi adalah gelora revolusi nasional jika GP sebagai the agent of oligarch dipaksakan. Gelora penolakan tentu akan menyeruak ke seluruh elemen, bukan hanya entitas tertentu. Landasannya keterpanggilan moral untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Inilah proyeksi politik yang layak direnungkan oleh para elitis parpol, terutama dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) atau para perancang kekuasaan yang mengeksploitasinya.

Penulis: Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia

Exit mobile version