Sebagai seorang single parent dan tulang punggung keluarga, Tri Moedji kini harus berjuang untuk menafkahi dirinya dan kakaknya yang menderita komplikasi stroke dan hipertensi.
Nasib serupa dialami oleh Akhsin Munawar dan Acep Effendi, yang memilih pensiun dini setelah mendapat kepastian masa jabatan lima tahun dari Keppres, dan menggunakan Keppres tersebut untuk mengajukan cicilan rumah.
Kini, setelah diberhentikan secara tiba-tiba, mereka menghadapi ketidakpastian mengenai bagaimana ia akan memenuhi kewajibannya untuk memnbayar cicilan rumah karena telah menjadikan Keppres Nomor 31/M Tahun 20224 sebagai jaminan untuk meminjam uang pada BTN.
Acep Effendi, salah satu korban PHK massal, menyoroti bahwa kebijakan Menkes yang awalnya fokus pada melindungi tenaga kesehatan justru berbalik, dengan KTKI sebagai lembaga non-struktural independen turut menjadi korban perundungan.
Kritik juga dilontarkan terkait respons arogansi pejabat Kemenkes yang menganggap PHK ini sebagai “resiko jabatan,” padahal para anggota KTKI diangkat secara sah melalui Keppres dan memiliki hak yang jelas selama masa jabatan mereka.
“Saya PNS Dinkes IV/C dari NTT yang memperoleh rekomendasi atasan untuk pensiun dini. Dengan surat persetujuan Gubernur NTT, Bapak Viktor Laiskodat ke BKN untuk pensiun dini tahun 2022, karena pertimbangan Kepres KTKI dengan lima tahun, bersamaan dengan batas akhir pensiun. Saya memilih untuk menjadi Anggota KTKI karena LNS adalah Pejabat Negara. Tentunya kebanggaan sebagai putra daerah NTT yang terpilih dari ratusan entomolog se-Indonesia,” kata Acep Effendi.
Karena ada kewajiban dari Dirjen Nakes waktu itu yakni drg. Arianti Anaya melalui Set KTKI bahwa kami harus berdomisili di Jakarta, dirinya pun mengambil cicilan rumah daripada membayar kontrak untuk 5 tahun.